Demikianlah yang hendak disampaikan Azurra Dayana dalam novel terbarunya, Tahta Mahameru. Novel ini sendiri bercerita tentang jalinan emosi yang dirajut oleh tiga tokoh utama dalam novel ini, yaitu Ikhsan, Faras dan Mareta. Ikhsan adalah seorang pendaki gunung sekaligus backpacker yang ternyata menyimpan kemurkaan mendalam kepada keluarganya sendiri. Kemudian, ada Faras yang rela melintasi pulau demi menelusuri jejak kehadiran Ikhsan yang baru ia kenal sekilas saat Ikhsan singgah di desa tempat tinggalnya, Desa Ranu Pane, sebelum memulai pendakian ke Gunung Semeru. Lalu, Mareta, seseorang yang baru ditemui Faras dalam penelusurannya, yang ternyata memiliki keterkaitan dengan kebencian Ikhsan.
Dalam novel ini, Azzura Dayana telah berhasil menyuguhkan sajian cerita dengan cara yang begitu apik. Melalui teknik penceritaan dari setiap tokoh yang silih berganti, emosi dengan mudahnya dibawa naik-turun ketika menelusuri rangkaian konflik dan teka-teki yang disajikan dalam cerita ini. Dimulai dari perkenalan yang sederhana, beragam hal yang menjadi penting sudah diselipkan sehingga membuat penasaran. Kemudian, tiba-tiba saja pembaca bagaikan terbawa oleh roller coaster, terus meluncur dalam pacuan cerita yang cepat dan membuat dag-dig-dug hati. Bahkan, saat-saat dimana laju cerita menjadi lambat, pembaca langsung ditarik lagi menuju kecepatan plot cerita yang begitu tinggi.
Hal kedua yang menarik dalam Tahta Mahameru adalah kejutannya. Dalam novel ini, banyak sekali hal-hal yang mampu membuat pembaca terkaget-kaget. Misalnya saja, hal-hal yang sejak awal sudah diceritakan ternyata berbeda jauh dengan apa yang sebenarnya. Lalu, detil-detil kecil yang dengan mudahnya terlupakan justru memberikan fakta yang mencengangkan pembaca, sehingga membuat pembaca membolak-balikkan bukunya untuk melihat hal tersebut.
Namun, di atas itu semua hal yang paling memikat mengenai Tahta Mahameru adalah penggambaran tempat dalam novel ini. Azurra Dayana dengan segala kemampuannya berhasil membuat deskripsi yang indah dan memikat mengenai objek-objek yang dimasukkan dalam cerita ini. Sebagai hasilnya, pembaca dapat benar-benar merasakan bagaimana syahdunya Desa Ranu Pane, megahnya Gunung Semeru, bahkan keagungan kapal pinisi. Semuanya begitu terasa dan tergambarkan dengan baik sehingga membuat perjalanan yang dialami Faras, Ikhsan, dan Mareta dialami dan dirasakan seolah-olah dengan segenap panca indera sendiri.
Namun, layaknya perjalanan yang sering mengalami hambatan, novel Tahta Mahameru pun tidak lepas dari berbagai kekurangan. Salah satunya adalah cara penulisan dari sudut pandang Mareta. Walaupun memang dibuat sesuai kepribadian Mareta, tetap saja penggunaan kata "gue" agak sedikit mengganjal dalam novel ini dan menjadi jeblok ketika dibandingkan dengan cara penulisan dari sudut pandang Ikhsan dan Faras.
Selain itu, kesalahan pengetikan juga menjadi kekurangan yang amat kentara dalam Tahta Mahameru. Ada beberapa bagian yang memiliki desain pengetikan yang berbeda dengan bagian novel yang lainnya. Ditemukan pula tanda baca yang salah ketik, yaitu dari tanda (‘) menjadi tanda (>), contohnya pada halaman 191. Lalu, ditemukan pula kata yang luput dari proses pengeditan, seperti kata dirijen yang ternyata adalah jerigen (halaman 346). Kesalahan-kesalahan seperti ini pun menyebabkan kesulitan dan ketidaknyamanan saat menelusuri Tahta Mahameru.
Pada akhirnya, walau dengan segala kekurangannya, novel "Tahta Mahameru" patut untuk dimasukkan ke dalam bacaan yang seru dan penuh petualangan, namun juga sekaligus memberi hikmah dan pelajaran yang bernilai.