Sekilas membaca judulnya, akan terlintas dugaan di kepala bahwa novel ini berkisah tentang perjuangan seorang pendaki dalam menaklukkan puncak tertinggi di tanah Jawa, Mahameru. Namun sesungguhnya, dalam novel setebal 380 halaman ini tersajikan kisah persahabatan antara dua manusia, dengan kemelut pertanyaan yang butuh waktu dan perjalanan panjang untuk dijawab.
Pada bagian awal novel, pembaca akan dibuat tercengang dari karakter keras dan kasar seorang Raja Ikhsan. Ikhsan adalah seorang pendaki gunung, wartawan lepas, dan fotografer yang tiga tahun berturut-turut mendaki Mahameru. Ketika singgah di desa Ranu Pane, ia bertemu dengan Faras. Seorang gadis sederhana asal daerah setempat, yang memiliki kemampuan berkomunikasi cukup tinggi lantaran gemar membaca buku, khususnya buku-buku karya Kahlil Gibran. Tiga kali pendakian Ikhsan ke Mahameru selama tiga tahun berturut-turut, sebanyak tiga kali pula ia bertemu dengan Faras.
Konflik pahit yang terjadi dalam keluarganya, membuat Ikhsan dipenuhi rasa dendam dan enggan bersikap baik kepada siapapun. Termasuk terhadap perempuan, terkecuali ibunya. Tanpa disadari, pertemuan dengan Faras memberikan perubahan sedikit demi sedikit dalam dirinya. Walaupun percakapannya dengan Faras terbilang singkat, Ikhsan memiliki kesan mendalam terhadap gadis yang lembut dan penyabar itu.
Namun, di tengah kecamuk pikiran Faras mengenai jawaban atas pertanyaan-pertanyan yang muncul dari percakapan mereka, Ikhsan lama tidak kembali ke Ranu Pane. Ikhsan meninghilang. Dengan bermodalkan e-mail, Faras berusaha melacak dan mengkuti jejak pria yang kerap kali disebut “Monster” tersebut.
Sayangnya, usaha Faras mencari Ikhsan dari Borobudur hingga ke Tanjung Bira sia-sia belaka. Tak disangka dari perjalanan tersebut, Faras bertemu dengan Mareta yang merupakan saudara seayah dari Ikhsan. Melalui pertemuan ini, segala langkah untuk menjawab setiap pertanyaan Ikhsan dimudahkan hingga maksud dan tujuan Faras terwujud.
Alur maju-mundur dengan menampilkan sudut pandang dari ketiga tokoh utama—Ikhsan, Faras, Mareta—secara silih berganti, mampu memunculkan rasa penasaran yang tinggi pada pembaca. Tidak cukup mengajak pembaca ikut berpetualang melintasi keindahan alam Indonesia bersama para tokoh, penulis juga memperkenalkan kebudayaan lokal secara mendalam, yaitu Suku Bugis.
Gaya penceritaan yang ringan, membuat pesan moral dari novel terbaik “Lomba Novel Republika 2012” ini mudah diterima. Persahabatan yang riil tidak diukur dari intensitas pertemuan, komunikasi, dan jarak. Melainkan, dari sebuah keyakinan dan dukungan nyata dalam memberikan pengaruh positif satu sama lain. Seperti halnya Ikhsan dan Mareta, yang mengalami banyak perubahan dari segi pengabdian seorang hamba kepada Tuhan semenjak bertemu dengan Faras. Terlebih, ketika karakter keras, kasar, dan pendendam dari seorang Ikhsan, perlahan sirna melalui sebuah proses yang cukup panjang.
Dan sesungguhnya, dari kisah ini pula pembaca dapat mempelajari satu hal penting yang sering kali terdengar sederhana namun sulit untuk dipraktekan, yaitu saling memaafkan. Kebencian yang tertanam dalam karena konflik keluarga yang dialami Ikhsan dan Mareta, bisa terselesaikan dengan ketulusan pemberian maaf yang datang ketika rasa dendam itu hilang.
Walaupun terkadang sulit, namun seperti apa yang dikatakan Faras ketika membujuk Mareta, Allah saja memaafkan hamba-Nya, seberapa pun banyak dosa yang ia perbuat. Lalu, kenapa kita enggak belajar memaafkan dari Pencipta kita?
—Sarashanti