REPUBLIKA.CO.ID,Pada 950, Mongolia menyerbu Bengal dan Vesali. Di Vesali, pasukan Mongol membunuh Sula Chandra— raja terakhir Dinasti Chandra. Di Bengal, Mongol gagal membunuh keluarga raja.
Setelah sekian tahun, Hindu Bengal bangkit di bawah Dinasti Pala. Hindu Vesali gagal membangun kembali kerajaannya karena kesulitan menghadapi invasi dan migrasi Tibeto Burman. Akibatnya, Hindu Vesali menjadi minoritas di negeri sendiri.
Tibeto Burman menjalankan program pertamanya, yaitu deindianisasi. Mereka berusaha berbaur dengan penduduk asli, kawin-mawin yang dikemudian hari menghasilkan generasi baru masyarakat Indo Mongoloid yang kini disebut Rakhine Arakan.
Sejarawan MS Collis juga mengatakan, kemunculan ras baru ini bukan sebagai akibat invasi tunggal pada 950, melainkan migrasi besarbesaran Tibeto-Burman tujuh tahun setelah kedatangan Mongol.
Namun, nama Rakhine relatif belum muncul sampai abad ke-15. Satyendra Nath Ghosal dalam Missing Links in Arakan History menyebutkan, sepanjang abad ke-15 dan 16, penduduk Arakan disebut Maghs. Lengkapnya Maghs dari Arakan. Ada pula Maghs dari Bangladesh.
Belakangan, orang Arakan dan Bangladesh menolak dipanggil Maghs karena kata itu berkonotasi buruk. Menurut Kamus Bahasa Inggris edisi baru, maghs adalah bajak laut. Profesi orang Arakan dan Bengali sepanjang abad 15 dan 17 adalah bajak laut.
Selepas abad ke-17, setelah tidak lagi menjadi bajak laut, orang Arakan—terutama yang telah memeluk Buddha—menyebut diri Rakhine. Ketika menjadi Rakhine, mereka mulai menyusun identitasnya sendiri. Abdul Mabub Khan, dalam The Maghs, Rakhine—atau Maghs dari Arakan—berasal dari ras Mongoloid.
Para etnolog sampai pada kesimpulan bahwa Maghs Arakan atau Rakhine berasal dari tepi Sungai Yang Tse Kiang dan Hoang Ho. Mereka bermigrasi menyusuri Sungari Irawadi, bertemu suku-suku Mon-Khmer dan mengalahkannya.
Maghs Arakan, menurut Abdul Mabub Khan, terbagi dua, mereka yang tinggal di dataran rendah dan pegunungan. Mereka yang tinggal di pegunungan, meski berbicara dalam bahasa dan keimanan yang sama dengan saudara mereka di dataran rendah, memiliki kebudayaan berbeda. Mereka juga mengembangkan dialek sendiri sebagai identitas pembeda.
Secara fisik, Maghs dari Arakan atau Rakhine bertubuh lebih pendek, berhidung pesek, tulang pipi yang tinggi dan lebar. Satu hal lagi, kaki mereka lebih pendek dibanding tubuh. Wanita Rakhine berdada datar, bibir tipis, rambut hitam lurus, hidung pesek, bermata kecil dan cokelat.
Sebagai bajak laut, Maghs Arakahan atau Rakhine bekerja sama sama dengan Portugis pada abad ke 17. Mereka menyerang desa-desa di Bengal, menculik warganya, dan menjualnya sebagai budak ke pedagang Arab di Arakan atau ke raja raja Arakan.
Portugis berusaha mengkristenkan para budak Muslim dan Hindu, tapi gagal total. Portugis menjual mereka ke pasar budak. Maghs Arakan menggunakan sendiri para tawanan untuk bekerja di tanah pertanian atau menjadi serdadu bayaran. Saat itu, raja-raja Arakan banyak mempekerjakan Muslim Bengal dan Hindu sebagai pengawal pribadi.
Aktivitas perbudakan yang dilakukan Rakhine dan Portugis membuat Chittagong nyaris menjadi daerah kosong dan buas. Setelah Portugis pergi, Rakhine menjadi sangat ketergantungan pada perdagangan budak. Akibatnya, mereka harus selalu berperang dengan negaranegara lain di sekitar untuk mendapatkan budak untuk dipekerjakan di tanah pertanian.
Namun, ketika populasi budak Muslim Bengal sedemikian tinggi dan di sisi lain Muslim Rohingya menjadi komunitas yang mapan, Rakhine mulai ketakutan dan menjadi agresif membunuh para budaknya sendiri. Mereka mungkin harus melakukannya untuk menjalankan politik keseimbangan etnis, tapi di sisi lain perlahan tapi pasti—mereka menjadi masyarakat fasis.