Kamis 19 Jul 2012 14:32 WIB

AS dan Uni Eropa Bekukan Aset Ashar

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Taufik Rachman
Presiden Suriah, Bashar Al-Assad.
Foto: AP
Presiden Suriah, Bashar Al-Assad.

REPUBLIKA.CO.ID,LONDON -- Pemerintah Inggris membekukan aset senilai Rp 1,6 triliun milih Presiden Suriah Bashar Assad. Inggris mengambil langkah itu, menyusul komunitas Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang tegas memberikan sanksi kepada Assad, agar menghentikan kecamuk di negerinya.

BBC di London melaporkan, aset cair yang dibekukan berada dalam beberapa rekening dan uang tunai. Laporan tersebut juga mengatakan, London juga akan mendata aset milik orang-orang terdekat Assad, untuk dilakukan hal serupa, termasuk istrinya Asma, yang atas desakan Belanda masuk ke dalam daftar hitam Uni Eropa. Ia telah dilarang untuk berkunjung ke Eropa.

Sedikitnya 129 daftar nama yang berasal dari Suriah, sudah dikotak hitamkan, dan akan dibekukan asetnya. Begitu juga 49 nama perusahaan milik presiden 46 tahun itu.

Direktur Riset Alaco yang berbasis di London, Lian Willis, mengungkapkan hanya sedikit aset milik Assad yang mampir di London dan Eropa. Kepada BBC dia mengatakan, berdasar laporan intelijen yang dihimpunnya, lebih dari satu miliar poundsterling beredar di negara-negara lain yang enggan memberikan sanksi terhadap Damaskus.

Di AS, Departemen Keuangan AS, merilis 29 nama pejabat Suriah, yang masuk dalam daftar pembekuan. Termasuk pembekuan aset milik pebisnis, dan juga sepupu Assad, Rami Makhluf yang disinyalir memiliki lima perusaahaan yang terkait dengan bisnis persenjataan.

Sementara itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK-PBB) menunda pertemuan luar biasa, yang direncanakan untuk mengambil suara (voting) pemberian sanksi kepada Suriah. Awalnya, voting memberikan sanksi sebagai resolusi bagi Suriah direncanakan Rabu (18/7). Namun, insiden ledakan yang menewaskan menteri dan kerabat Assad di Damaskus Rabu (18/7) malam kemarin, membuat pemegang hak veto di DK PBB menundanya.

Kantor berita Reuters melansir, Presiden As Michael Barrack Obama, pascaledakan menghubungi Presiden Rusia, Vladimir Putin untuk terus merayu Moscow agar mendukung langkah DK PBB memberikan sanksi terhadap negara karibnya itu, Suriah.

Mengutip stasiun Aljazeera, Gedung Putih menilai Presiden Assad sudah dalam situasi 'kalap', dan kehilangan kendali pemerintahannya di Damaskus. "Kita perlu mengambil tindakan dengan satu suara untuk membawa pemerintahan transisi yang layak," kata Juru Bicara Gedung Putih, Jay Carney. Kata dia, terdapat kesamaan pandangan antara Washington dan Moscow yang secara bersamaan membutuhkan jalan untuk penghentian konflik yang telah menewaskan tak kurang dari 17 ribu jiwa itu.

Dari Moskow dilaporkan, Kremlin tetap tidak menginginkan masa peralihan di Suriah, harus dengan cara menyingkirkan Assad dari negaranya. Dalam pertemuan utusan PBB dan Liga Arab, Kofi Annan bersama Putin, Selasa (17/7) kemarin.

Moskow terus mempromosikan enam poin rencana damai yang harus dilakukan di Suriah. Diantaranya, melanjutkan gencatansenjata yang telah gagal, dan dengan membiarkan rekonsiliasi untuk masa peralihan diserahkan kepada masyarakat Suriah sendiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement