REPUBLIKA.CO.ID, Berdirinya Kairo sebagai ibukota dan pusat pemerintahan diawali gerakan penumpasan golongan Syiah yang dilancarkan penguasa Abbasiyah di Baghdad.
Kongsi yang dibangun golongan Syiah dengan Bani Abbas untuk menjatuhkan Bani Umayyah akhirnya pecah.
Penguasa Abbasiyah mencoba meredam perlawanan golongan Syiah Ismailiyah di bawah pimpinan Ubaidillah Al-Mahdi. Setelah sempat ditahan, Ubaidillah akhirnya dibaiat menjadi khalifah bergelar Al-Mahdi Amir Al-Mu'minin (909 M).
Pengganti Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi, Muizz Lidinillah, mulai mengalihkan perhatiannya ke Mesir. Ia menunjuk Panglima Jauhar Al-Katib As-Siqili untuk menaklukan Mesir.
Tahun 969 M, Mesir berada dalam kekuasaan Syiah Ismailiyah. Sejak itu, mereka membangun kota baru yang diberi nama Al-Qahirah atau Kairo yang berarti 'penaklukan' atau 'kejayaan'. Pada 972 M, di Kairo telah berdiri Masjid Al-Azhar.
Kota Kairo tumbuh pesat setelah pada tahun 973, seiring dengan hijrahnya Khalifah Mu'izz Lidinillah dari Qairawan ke Mesir. Sejak saat itu, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah.
Dinasti itu menorehkan kegemilangan selama 200 tahun. Di masa itu, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz.
Kairo tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia. Kairo pun menggabungkan Fustat sebagai bagian dari wilayah administratifnya. Tak heran, jika Kairo tumbuh semakin pesat sebagai salah satu metropolis modern yang diperhitungkan dan berpengaruh.
Pada era itu pula, Kairo menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah baru. Bahkan, pada masa pemerintahan Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975 M - 996 M), Kairo mampu bersaing dengan dua ibukota Dinasti Islam lainnya yakni, Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah dan Cordoba pusat pemerintahan Umayyah di Spanyol. Kini, Universitas Al-Azhar menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka yang berada di kota itu.