REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 14 elemen masyarakat menolak rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Sebabnya adalah, pembangunan jembatan ini, selain mengingkari wilayah kepulauan, juga dikhawatirkan hanya menguntungkan bagi pelaku ekonomi bermodal besar di lintas Merak-Bakauheni.
"Kami atas nama 14 elemen masyarakat menolak keras rencana itu karena itu pengingkaran terhadap jati diri sebagai negara kepulauan," kata Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi saat dihubungi di Jakarta, Selasa (24/7).
Rusdi mengeklaim bertindak selaku koordinator penolakan dari berbagai elemen masyarakat itu dan direncanakan koalisinya akan diumumkan kepada publik pada Agustus nanti. Empat belas elemen masyarakat itu antara lain AMPERA, Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara (RPDM), TRAMS, Yayasan Tanah Airku dan Komite Nasional Masyarakat Indonesia.
Menurut Siswanto, berdasarkan deklarasi Juanda, laut antar pulau di Indonesia adalah jembatan penghubung dengan kapal-kapal sebagai jembatannya. "Penggagas JSS berarti tidak mengerti akan konsep ini," katanya.
Dia menyebut, sejumlah negara kepulauan lainnya seperti Jepang dan Filipina, sampai saat ini tidak punya rencana pembangunan jembatan di selat-selat mereka. "Mereka mengandalkan armada kapal feri," katanya.
Oleh karena itu, dia mengkhawatirkan, jangan-jangan nantinya akan dibangun Jembatan Jawa-Bali, Jembatan di atas selat-selat Kalimantan, Sulawesi dan lain lain. Dia mencontohkan pembangunan Jembatan Suramadu. Tujuannya untuk membantu pertumbuhan ekonomi warga Pulau Madura. Namun, kenyataannya, akta dia, masyarakat Madura jadi berbondong-bondong ke Surabaya sebagai urban komuter.
Tidak hanya itu, tegasnya, Selat Sunda merupakan satu dari tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang ditetapkan oleh ketentuan internasional Unlos 82. Artinya, walaupun menjadi teritorial Indonesia, negara lain juga berhak untuk melintas di sana. "Jika nanti ada JSS dengan bentang relatif panjang, bagaimana kapal-kapal asing akan melintas?" katanya.