REPUBLIKA.CO.ID,Survei adalah pekerjaan akademis. Mestinya dia netral dan mencerahkan. Tapi, ada dua efek survei yang --sengaja atau tidak sengaja-- kerap tak terhindarkan. Keduanya adalah bandwagon effect dan underdog effect. Dan, ini pun terjadi dalam pemilukada DKI Jakarta, terutama ketika salah satu pasangan calon dan tim surveinya yang menjadi konsultan politiknya, mengampanyekan menang satu putaran.
Dalam papernya Controlling Pre- Election Poll and Quick Count in Contemporary Indonesia, Agus Trihartono memaparkan, band wagon effect merupakan sebuah kekuatan di mana survei di andaikan bisa memengaruhi pe milih. Maksudnya, calon pemilih akan mengubah preferensi pilihannya, setelah terekspose hasil survei prapemilu/pemilukada, dengan mendukung yang leading dalam survei itu.
“Pemilih mengambang (undecided voter) bisa jadi akan tergiring untuk mendukung kandidat yang menang [dalam survei itu],” papar Agus Trihartono, mengutip Young. Adapun underdog effect, adalah sebuah kekuatan yang berlawanan dengan bandwagon effect. Underdog effect terjadi ketika orang justru memilih kandidat atau partai kalah, yang menurut survei bakal kalah.
Kedua efek ini --bandwagon dan underdog-- berlangsung secara simultan. Tapi, ada tendensi saling meniadakan. Lantas, bagaimana dengan kasus pemilukada DKI Jakarta? Kampanye satu putaran oleh salah satu kubu, ditengarai ada indikasi hendak menggulirkan bola salju bandwagon effect itu. Kebetulan, kubu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), dalam rangkaian survei, selalu berada di atas angin, dengan rata-rata raihan di atas 40 persen. Bahkan ada yang memberinya 49,6 persen.
Dalam bahasa pakar komunikasi politik UI, Effendi Ghazali, dengan raihan sebesar itu, tinggal didorong sedikit lagi bisa untuk meraih suara mayoritas 50 persen plus satu, dan menang satu putaran. Masih tersedia ceruk cukup besar yang bisa diraup lewat bandwagon effect, yaitu pemilih bimbang (undecided voter) yang menurut sejumlah survei, jumlahnya masih sekitar 30-an persen.
Tapi, pada saat itulah, underdog effect diduga justru bekerja. Kampanye menang satu putaran mendapat perlawanan dari kalangan, terutama yang masih undecided. Dan, menurut sejumlah analisis, kebanyakan undecided voters adalah kalangan menengah yang rasional. Alih-alih termobilisasi, atau termakan dalih satu putaran menghemat APBD lebih dari Rp 100 miliar, mereka justru menangkap bahasa menang satu putaran itu sebagai sebuah arogansi.
Salah seorang yang menganut pandangan ini adalah peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi. Dia menduga, kampanye menang satu putaran itu, menggerakkan undecided voters untuk menghukum Foke-Nara, dengan ngeblok ke pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok), pada 10 hari terakhir menjelang pencoblosan.
Bahkan, pendukung kandidat lain, diduga juga tersulut oleh kampanye itu, dan bergerak ke arah Jokowi- Ahok, karena melihat pasangan inilah yang paling mungkin melawan Foke- Nara. Sebab, sebagian besar survei menempatkan pasangan ini di urutan kedua. “Pasangan Jokowi-Ahok yang paling mungkin masuk putaran kedua,” katanya.
Kampanye menang satu putaran, pada Pemilu Presiden 2009 lalu, juga digunakan oleh SBY. Entah mengapa pada SBY berhasil, sedangkan pada Foke gagal.