Penanganan serius
Naskah-naskah klasik nusantara yang begitu besar jumlahnya dan sangat tersebar penyimpanannya harus segera ditangani dengan baik.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, upaya untuk mengetahui keberadaan naskah-naskah tersebut sering kali menemui hambatan.
Hambatan tersebut disebabkan naskah-naskahnya yang dikeramatkan hingga tidak boleh diakses oleh sembarang orang ataupun karena naskah-naskah tersebut telah berumur ratusan tahun sehingga banyak bagian yang rawan rusak jika disentuh.
Kendati demikian, menurut Uka, pemerintah tetap perlu melakukan perundingan bilateral dengan negara yang bersangkutan terkait upaya pengembalian naskah-naskah klasik ini. Karena, secara aturan hukum sudah ada konvensi internasional tentang benda-benda cagar budaya, termasuk manuskrip dari suatu negara harus dikembalikan pada negara yang bersangkutan.
Ia mencontohkan manuskrip yang sudah dikembalikan secara fisik ke Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama. Kitab ini diambil Belanda pada saat perang Lombok.
Namun, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Dr Oman Fathurahman, menyayangkan masih minimnya perhatian pemerintah terhadap keberadaan naskah kuno.
Padahal, dengan cara dikumpulkan, kemudian dibuatkan katalog dan mikrofilm secara digital, naskah-naskah klasik hasil karya para ulama nusantara ini bisa dipelajari kembali saat ini. Hal ini mengingat dalam naskah itu terdapat berbagai kekayaan pemikiran, seperti bahasa, sastra, sejarah, hukum dan adat, seni budaya, agama, serta filsafat.
Menurut Oman, kondisi ini sangat berbeda dengan negara-negara lain. Contoh paling dekat, ungkap dia, adalah Malaysia. Di Malaysia, dukungan dari negara terhadap khazanah seperti ini sangat besar.
Sementara itu, di Indonesia, pemerintah membiarkan saja pemeliharaannya ditangani oleh masyarakat. Padahal, biaya pemeliharaan yang dibutuhkan sangat besar. Karena itu, tambah dia, harus ada gerakan penyelamatan naskah kuno, termasuk naskah Islam klasik secara nasional.