REPUBLIKA.CO.ID, Untuk memenuhi kehendak rakyat Baitul Maqdis itu, panglima yang ketika itu Abu Ubaidah bin Jarrah, menulis surat kepada Umar dan meminta kehadirannya untuk menerima penyerahan kota itu.
Permintaan itu diterima oleh Umar dengan senang hati. Dia masuk kota suci itu dengan didampingi oleh pendeta Kopernikus. Dalam kesempatan itu, Umar masuk Masjid Al-Aqsha dan menunaikan shalat di dalamnya.
Sementara saat terjadinya Perang Salib, bangunan Kubah Batu ini sempat jatuh ke tangan tentara Salib. Oleh Kaisar Augustinian, bangunan Kubah Batu ini kemudian dialihfungsikan menjadi gereja.
Namun, ketika pasukan Islam di bawah pimpinan Salahuddin Al-Ayyubi berhasil menaklukkan Yerusalem pada 1187, kompleks Al-Haram asy-Syarif ditetapkan sebagai tempat ibadah kaum Muslimin.
Salib di atas Kubah Batu diganti menjadi bulan sabit emas. Sejak saat itu hingga tahun 1917, Kubah Batu berada di dalam genggaman penguasa Muslim.
Pada masa Kesultanan Ottoman (1517-1917), dilakukan sejumlah renovasi terhadap bangunan Kubah Batu ini. Renovasi berskala besar dilakukan semasa pemerintahan Mahmud II tahun 1817. Berdekatan dengan Qubbat As-Sakhrah, Kesultanan Ottoman membangun Kubah Nabi pada 1620.
Setelah gempa melanda wilayah Palestina pada 11 Juli 1927, bangunan ini mengalami kerusakan. Pemerintah Kerajaan Inggris Raya yang kala itu mendapatkan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa sebagai penguasa transisi atas wilayah Palestina selama periode 1917 hingga 1948, melakukan berbagai usaha perbaikan terhadap kerusakan yang terdapat pada bangunan Kubah Batu ini.
Saat ini, bangunan monumental milik umat Islam tersebut berada di bawah kekuasaan rezim zionis Israel.