REPUBLIKA.CO.ID, Laporan dari Myanmar menyebut sedikitnya 100 rumah milik suku minoritas Rohingya dibakar dalam aksi kekerasan terbaru antara pemeluk Buddha dan warga minoritas Muslim, Senin (6/8).
Sedangkan laporan lain menyebut sejumlah warga Muslim Rohingya tewas setelah terjadi di sebelah barat negara bagian Rakhine.
Serangan berdarah itu terjadi setelah pemerintah Myanmar menyatakan kawasan itu sudah relatif terkendali selama beberapa pekan terakhir.
Sementara itu, Prancis mendesak Pemerintah Myanmar untuk melindungi semua kelompok etnis di negeri itu tanpa diskriminasi. "Prancis menyatakan pentingnya sebuah resolusi untuk membentuk konsesi damai dan mencapai rekonsiliasi nasional di Myanmar," kata Wakil Menteri Luar Negeri Perancis, Vincent Floreani.
Selain itu, Kemenlu Prancis mendesak agar status pengungsi di negara bagian Rakhine segera diperjelas."Status mereka harus diperjelas berdasarkan hak memperoleh kewarganegaraan dan hak untuk menikmati status itu dan menghormat serta menghormati hak asasi manusia.
"Ada kekhawatiran timbul kekerasan yang dilakukan militer terhadap warga sipil. Kami serukan kepada pemimpin Myanmar untuk melindungi rakyatnya tanpa diskriminasi dan melakukan investigasi," kata Floreani.
Pertumpahan darah antarwarga Negara Bagian Rakhine itu sejauh ini telah memakan 80 orang korban tewas.
Aksi kekerasan ini seakan menjadi awan hitam di atas reformasi yang dilakukan Presiden Thein Shein, termasuk ratusan tahanan politik dan terpilihnya Aung San Suu Kyi ke parlemen.
Organisasi Human Right Watch menuduh militer Myanmar terlebih dulu melepas tembakan ke arah orang-orang Rohingya. Tentara juga diduga melakukan perkosaan terhadap para perempuan Rohingya.