REPUBLIKA.CO.ID, SUSYA -- Undang-undang dan peraturan di Israel bisa dengan mudah menentukan dan mempermaikan nasib warga Palestina dengan propertinya. Kondisi itu mendorong warga Palestina membangun rumah karena mereka tak memiliki kesempatan.
Setelah mereka membangun, mereka menerima perintah penghancuran. Setelah mereka menerima perintah penghancuran mereka mencoba mengajukan izin pendirian bangunan. Itu adalah satu-satunya cara mereka menyelamatkan rumah atau demi membeli waktu, terlepas bahwa menurut Deklarasi Oslo II. Hak warga Palestina dijepit terlepas menurut Deklarasi Oslo II, Area C sudah seharusnya diserahkan Israel kepada Palestina.
OCHA malaporkan pada 2011, otoritas Israel menghancurkan 560 bangunan milik Paletina termasuk 46 kolam penampungan air hujan untuk kebutuhan air bersih mereka yang dibangun di Area C. Pada tahun yang sama, kebijakan penghancuran Israel membuat lebih dari 1.000 orang yang separuhnya ialah anak-anak, menjadi gelandangan.
Sebaliknya, perumahan Yahudi, yang dinyatakan ilegal dalam hukum internasional, terus meluas dengan tempo cepat. Kini sedikitnya 125 perumahan di bagian terluar--yang bahkan dianggap ilegal dalam UU Israel--telah berdiri di puncak-puncak perbukitan di Tepi Barat.
"Rakyat sudah seharusnya hidup tidak untuk mengutamakan diri mereka sendiri, melainkan untuk kemajuan bangsa Israel, tidak hanya alasan karena di sinilah saya bisa hidup," tukas Ariela Dietch, ibu dengan enam anak sekaligus warga Yahudi di perumahan lini terdepan Israel di Migron.
Bertengger di puncak bukit yang menghadap desa-desa Palestina Deir Dibwan dan Burqa, timur Ramallah, 49 keluarga Yahudi Israel kini tinggal di sederetan rumah karavan seluas masing-masing 45 meter persegi di Migron. Dibangun pada akhir 1990-an, Migron telah membuat trotoar, tanki-tanki air besar, menara listrik dan pusat komunikasi, taman kanak-kanak, area bermain dan pusat terapi perilaku anak dengan cara menunggang kuda.
Ironisnya, semua itu dibangun secara ilegal di atas tanah pribadi yang dimiliki warga Palestina. Pemerintah Israel sebenarnya telah menyatakan pemukiman itu harus disingkirkkan.
Dalam kesaksian di persidangan yang masih berlangsung hingga kini terkait 17 keluarga, yang mengaku baru saya membeli tanah secara legal, bisa tetap tinggal di Migron. Sementara sisanya yang hanya datang menempati, akan direlokasi ke karavan temporer di pinggir jalan, alias kamp pengungsian, menurut penuturan Deitch.
Saat terusir, warga Yahudi pun tak terima. "Anda dengan cepat menjadi bagian dari gunung ini kemudian seperti pohon yang tiba-tiba dicabut hingga akarnya. Tidak bisa sesederhana itu," ujar Deitch. "Anda merasa penting bahwa orang-orang datang di sini dengan fair dan adil. Harus ada keadilan di sini,"
Pada bulan Juli, pemerintah Israel mengumumkan niatnya untuk memindahkan paksa desa-desa Palestina di Area C dengan alasan akan menggunakan lahan itu untuk area latihan militer.
Perintah penghancuran kepada sekitar 3.000 bangunan kini tetap menghantui komunitas Palestina Area C. Merespon situasi itu, lembaga-lembaga internasional langsung berbondong-bondong melibatkan diri dalam sejumlah proyek di area tersebut, terlihat sebagai upaya menjaga Palestina dari pengusiran dan penghancuran paksa.
Dukungan internasional terhadap Palestina membuat gusar pemerintah Israel. Pada pertengahan Juli, Israel mengancam menahan visa kerja dan dokumen perjalanan OCHA, badan PBB yang bekerja di proyek kemanusiaan Palestina.
Tekanan itu tak membuat warga Palestina di Area C berhenti berjuang. Mereka terus mengajukan rencana pendirian bangunan di Administrasi Sipil Israel sebagai upaya untuk membangun kota-kota dan desa-desa mereka secara legal.
"Master plan bisa menjadi solusi untuk beberapa hal, membantu membekukan perintah penghancuran dan membantu pada masa depan nanti untuk melegalkan bangunan dalam perencanaan wilayah yang diadopsi dan disetujui," ujar Azzam Hjouj, Direktur Jendral Departemen Perencanaan Wilayah di Menteri Pemerintahan Lokal Otoritas Palestina (PA)