REPUBLIKA.CO.ID, Pada siang hari setelah pengumuman Proklamasi, Soekarno meminta Teuku Mohammad Hassan menjumpai Ki Bagoes Hadikoesoemo untuk mempertimbangkan kembali beberapa mata pokok rancangan UUD yang isinya terdapat kalimat Islam.
Pertimbangan itu demi keutuhan bangsa yang baru merdeka, sedangkan Teuku Mohammad Hassan dianggap seorang yang paham tentang hukum Islam yang diharapkan dapat meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo untuk berlapang dada menerima perubahan yang diajukan.
Berkaitan dengan itu Alamsyah Ratuprawiranegara berkomentar, Pancasila adalah hadiah umat Islam bagi kemerdekaan dan persatuan Indonesia. Sementara itu, HS Prodjokusumo menyatakan, Kunci Pancasila di tangan Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Pengalaman dalam penyusunan konstitusi Indonesia ini mendorong Ki Bagoes untuk menyusun Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Penulis Produktif
Selain sebagai tokoh ulama dan pejuang perintis kemerdekaan, Ki Bagoes Hadikoesoemo juga dikenal sebagai seorang penulis semasa hidupnya. Ia sangat produktif dalam menuangkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan.
Di antara buku karyanya adalah “Islam Sebagai Dasar Negara dan Akhlak”, “Risalah Katresnan Djati (1935)”, “Poestaka Hadits (1936)”, “Poestaka Islam (1940)”, “Poestaka Ichsan (1941)”, dan “Poestaka Iman (1954)”.
Dari buku-buku karyanya tersebut tecermin komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagoes berpendapat bahwa pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual.
Ini tampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse).
Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi, dia dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931.