REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat politik dari LIPI, Syamsudin Haris menilai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq akan sulit untuk bersaing menjadi calon presiden di pemilu mendatang. Pasalnya, dia tidak memiliki popularitas dan elektabilitas yang cukup.
Ia menilai, menjadi hak dari partai politik masing-masing untuk mendorong ketua umumnya untuk menjadi calon presiden. Hanya saja, yang menentukan siapa yang layak merupakan konstituennya.
"Konstituen itu bukan hanya dari PKS, dari macam-macam. Karenanya, menurut saya itu dipaksakan saja, karena peluangnya kecil. Mestinya kalau tidak punya peluang atau elektabilitasnya kecil, tak usah dipaksakan," katanya ketika dihubungi, Senin (3/9).
Pihak PKS sendiri menyadari rendahnya popularitas dan elektabilitas Luthfi. Meski pun begitu, PKS tetap yakin kalau akan dapat memperbaiki masalah keterkenalan anggota Komisi I DPR tersebut dalam waktu satu tahun.
"Satu tahun sulit, apalagi kalau tidak memiliki isu stratehgis tertentu yang bisa dijual. Sebab, kalau tidak, satu tahun itu akan berlalu begitu saja," tegas dia.
Alih-alih benar-benar mengusung Luthfi sebagai capres, Syamsudin lebih melihat kalau langkah PKS tersebut lebih untuk membuka pintu koalisi pada pemilu mendatang. Setidaknya, bisa buat negosiasi untuk posisi wakil presiden. "Sebab HNW saja untuk pilkada di tingkat Jakarta di mana PKS suaranya sangat signifikan, itu tidak mampu bersaing," jelas Syamsudin.
Ia pun melihat, kalau mendorong Lutfhi untuk menjadi capres pun tak akan dapat menyatukan suara partai Islam untuk pilpres mendatang. Pasalnya, persaingan untuk pemilu mendatang sudah semakin ketat.
Ini lantaran dengan naiknya ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) dari 2,5 persen pada pemilu lalu menjadi 3,5 persen. Sehingga, partai akan lebih dulu berpikir untuk dapat lolos PT, baru kemudian fokus untuk pilpres.
"Semua akan fokus ke pemilu legislatif dulu. Karena keberhasilan itu akan sangat menentukan bisa mengajukan calon sendiri atau tidak,’" pungkas Syamsudin.