Senin 10 Sep 2012 14:50 WIB

Wapres Irak Divonis Mati

Rep: Fernan Rahadi/ Red: Dewi Mardiani
Tareq al-Hashemi
Foto: Reuters
Tareq al-Hashemi

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD  --  Ruang sidang di Pengadilan Pidana di Baghdad, Irak, langsung terdiam begitu hakim ketua menjatuhkan menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Wapres Irak, Tariq al-Hashemi, Ahad (10/9). Politisi dari kelompok Sunni tersebut dituduh menjadi dalang pembunuhan seorang pejabat keamanan Syiah dan seorang pengacara yang menolak membantu sekutunya dalam kasus-kasus teror.

Selain memvonis mati Hashemi, pengadilan juga memvonis menantu Hashemi, Ahmed Qahtan. Pengadilan memvonis keduanya secara absentia. Hashemi melarikan diri ke Turki beberapa bulan setelah pemerintah Irak, yang saat ini dikuasai Syiah, menuduhnya mendalangi sebanyak 150 pengeboman dan serangan-serangan lainnya pada kurun waktu 2005-2011.

Sampai saat ini Hashemi masih mengasingkan diri di Turki. Seperti dilansir The Guardian, sebagian besar serangan-serangan yang diduga dilakukan para pengawal Hashemi tersebut menargetkan para pejabat pemerintah, para pasukan keamanan, serta peziarah Syiah.

Hashemi menolak mengomentari putusan pengadilan tersebut usai bertemu dengan Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu, di Ankara. Ia hanya mengungkapkan akan merespons masalah tersebut melalui sebuah pernyataan dalam beberapa jam mendatang.

Kasus bermuatan politis yang muncul pertama kali setelah pasukan AS menarik diri dari Irak, Desember lalu itu, memicu krisis serta memancing kebencian dari kelompok Sunni dan Kurdi terhadap pemerintah Irak pimpinan Perdana Menteri Nouri Al-Maliki. Sejauh ini, Hashemi memandang segala bentuk tuduhan itu merupakan aksi balas dendam yang dilakukan lawan politiknya.

Hashemi adalah satu-satunya warga Sunni Irak yang mendapatkan jabatan tinggi di pemerintahan. Baik Hashemi maupun Qahtan sama-sama memiliki waktu 30 hari untuk mengajukan banding. Keduanya berpeluang menang jika bisa hadir di pengadilan. Akan tetapi tampaknya Turki tidak akan memperbolehkannya kembali ke Baghdad.

Tim pembela dalam pernyataan penutupannya mengecam putusan pengadilan. Mereka menuduh pemerintah Irak tidak independen dan terlalu berpihak pada kelompok Syiah. "Sejak awal terlihat dari semua prosedurnya sangat jelas terlihat bahwa sistem peradilan Irak telah berada di bawah tekanan politik," kata ketua tim pembela Muayar Obeid al-Ezzi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement