REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pakar ekonomi Latif Adam mengatakan PT Pertamina dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) saling lempar tanggung jawab dalam melaksanakan penghematan bahan bakar minyak yang dicanangkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Energi.
"Saling lempar tanggung jawab itu mengakibatkan tidak adanya sistem monitoring dan evaluasi yang optimal dalam pelaksanaan peraturan itu," kata Latif Adam saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) melarang truk perkebunan dan pertambangan menggunakan BBM bersubsidi, kecuali perkebunan perorangan skala kurang dari 25 hektar dan pertambangan rakyat.
Ekonom dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengatakan selama ini tanggung jawab Pertamina melakukan monitoring hanya sampai ke depo saja. Di luar itu, sudah menjadi kewenangan BPH Migas.
"Padahal, BPH Migas tidak memiliki kepanjangan tangan di daerah, termasuk daerah-daerah sentra perkebunan dan pertambangan. Karena itu, monitoring dan evaluasinya menjadi lemah," katanya.
Latif mengatakan bila pemerintah ingin serius melaksanakan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2012 untuk penghematan BBM, harus menggandeng pemerintah daerah dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan peraturan itu.
"Sebab, pemerintah daerah yang memahami dan memiliki pengetahuan mendalam tentang jumlah konsumsi BBM di daerahnya," ujarnya.
Menurut dia, sempat terjadi penolakan oleh sejumlah kepala daerah terhadap pelaksanaan peraturan itu menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak diajak bicara tentang peraturan itu.
Permintaan sejumlah kepala daerah yang mengajukan penambahan kuota BBM juga menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak diajak bicara dalam pengambilan kebijakan tentang energi.
"Pemerintah pusat pasti sudah berhitung berapa kebutuhan BBM masing-masing daerah. Tetapi, mengapa pemerintah daerah masih meminta penambahan kuota?" katanya setengah bertanya.