REPUBLIKA.CO.ID, Pada adab kedua Hijriah, umat Islam mulai mengenal wakaf tunai atau wakaf uang.
Imam Az-Zuhri (wafat 124 H) merupakan salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadis yang memfatwakan bolehnya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam.
Pada zaman kepemimpinan Salahudin Al-Ayyubi, di Mesir sudah berkembang wakaf uang. Hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan negara serta membangun masjid, sekolah, rumah sakit, serta tempat-tempat penginapan.
Di era kejayaan Islam, wakaf menjadi salah satu pilar kekuatan ekonomi dinasti-dinasti Islam. Bermodal pengelolaan harta wakaf yang profesional, dinasti-dinasti Islam mampu menyejahterakan rakyatnya.
Pada zaman keemasan Islam, wakaf tak hanya dikelola dan didistribusikan untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, mengaji para guru, serta beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Rumah sakit pun dibangun di berbagai kota dengan dana wakaf. Semua biaya operasional rumah sakit ditanggung dari dana wakaf. Gaji dokter, perawat, hingga obat-obatan ditanggung dana wakaf. Sehingga, rakyat miskin sekalipun bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima secara cuma-cuma.