REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kaum perempuan kerap dijadikan alat pengumpul suara dalam Pemilihan Kepala Daerah karena kerentanannya dalam menolak praktik politik uang.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Wahidah Rustam kepada Republika, Jumat (14/9).
"Perempuan seringkali menjadi sasaran calon, partai politik dan tim sukses dalam penerapan politik uang maupun barang," ungkap Wahidah melalui sambungan telepon.
Wahidah mengatakan, kesimpulan itu didasarkan pada hasil wawancara terhadap 1.500 ibu-ibu yang tinggal di 10 daerah di empat kotamadya DKI Jakarta, terkait dengan proses Pilkada DKI Jakarta lalu. Mereka yang diajak berbincang di antaranya berasal dari wilayah Jatipadang, Rawajati, Warung Jati, Cililitan, Cilincing, Manggarai, Jatinegara, dan Gang Bambu.
Secara rata-rata, ungkap Wahidah, kehidupan mereka berada pada tingkat menengah ke bawah. Tidak hanya secara materi, namun juga dari sisi pendidikan formal dan akses politik.
"Ibu-ibu inilah yang dijadikan sasaran empuk untuk praktik politik uang," jelas Wahidah.
Di samping itu, ungkap dia, sebagian besar mereka hanya mengikuti suaminya yang memilih partai atau calon tertentu.
"Atas dasar itu mereka dianggap rentan dan harus diwaspadai dugaan praktik politik kepada perempuan," ucap Wahidah.