REPUBLIKA.CO.ID, Sedangkan syarat-syarat yang tidak disepakati adalah sebagai berikut. Ulama Mazhab Hanafi mensyaratkan wajibnya diat jika yang terbunuh itu berada di wilayah yang dikuasai Islam.
Karenanya menurut mereka, orang mukmin yang terbunuh di wilayah kafir harbi maka pembunuhnya tidak dapat dituntut diat.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, “... jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin..” (QS, 4: 92).
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam ayat ini Allah SWT hanya mewajibkan memerdekakan hamba sahaya bagi seseorang yang membunuh seorang mukmin di wilayah kafir harbi. Akan tetapi jumhur ulama fikih tetap mewajibkan diat bagi pembunuh tersebut, sekalipun pembunuhan itu dilakukan di wilayah kafir harbi.
Alasan mereka adalah keumuman kandungan ayat 92 Surah An-Nisa, "... dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarga terbunuhnya, kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah..."
Persoalan lain yang dibahas ulama berkaitan dengan hal-hal yang mewajibkan diat ini adalah tentang status seseorang yang melaksanakan tugasnya untuk mendidik atau menjalankan suatu kewajiban, tetapi tugas itu menyebabkan orang lain terbunuh (misalnya, seorang hakim memukul terpidana, ayah memukul anak, wali yatim memukul anak yatim, atau guru memukul muridnya, hingga wafat). Dalam permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat ulama fikih.