REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Lukman Hakim Saifuddin berpendapat memperbaharui MOU Polri-KPK untuk saat ini tidak tepat, mengingat silang sengketa kewenangan antaran KPK dan Polri.
Selain itu, kata Lukman, MOU tersebut tak memiliki dasar hukum kuat karena tak ada dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU 12/2011. Apalagi saat ini kedua institusi itu sedang berseteru.
"MOU itu mustahil bisa terbaharui segera karena harus dibuat bersama oleh kedua institusi yang justru kini sedang berseteru. Itu bak punguk merindukan bulan," selorohnya di Jakarta, Rabu (10/10).
Karenanya, Lukman menyatakan koordinasi dan sinkronisasi terkait apa dan siapa penyidik KPK, misalnya, harus segera dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi kewenangan Presiden. UU KPK sesungguhnya telah menyiratkan KPK dimungkinkan memiliki penyidik sendiri yang bukan polisi atau jaksa. (baca: 'Ini Saatnya Presiden Komandoi Pemberantasan Korupsi').
"Tinggal Presiden melalui PP-nya lebih menegaskan lagi hal itu. PP itu juga harus berisi penegasan atas berbagai silang sengketa kewenangan yang muncul akibat beragam penafsiran berbagai UU terkait pemberantasan korupsi," sebut Lukman.
Melalui PP yang menjadi kewenangannya penuh, masih kata Lukman, Presiden SBY bisa langsung memimpin sendiri arah pemberantasan korupsi itu. Di sisi lain, penerbitan PP akan jauh lebih cepat dibanding menunggu pembaruan MoU KPK-Polri.
"Inilah peluang emas saatnya Pak SBY memimpin sendiri membersihkan negeri ini dari korupsi," tukas Lukman mengakhiri.