REPUBLIKA.CO.ID, Secara etimologis, gaib berasal dari kata gaba yang berarti hilang/tidak kelihatan, antonim dari kata hadara yang berarti hadir dalam penglihatan mata.
Secara umum, gaib diartikan oleh para ahli bahasa sebagai segala sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata di kepala manusia, baik sesuatu itu dapat digambarkan dalam hati atau tidak.
Termasuk ke dalam pengertian ini gaib dalam konteks ilmu kalam, seperti malaikat, surga, neraka, dan alam-alam gaib lainnya; dan dalam konteks hukum Islam, seperti jual beli barang yang gaib (tidak tampak), shalat jenazah gaib, dan lain-lain.
Dalam terminologi hukum Islam, istilah gaib diartikan sebagai seseorang atau sesuatu yang maujud (ada) secara fisik, tetapi tidak berada di tempat tindak hukum dilaksanakan sehingga tidak dapat dilihat oleh mata orang yang hadir.
Misalnya, seseorang yang berakad tidak hadir dalam suatu upacara akad yang seharusnya dihadirinya atau barang yang diperjualbelikan tidak ada di tempat upacara akad jual beli.
Pengertian gaib dalam konteks hukum Islam lebih bersifat fisik, sehingga penekanannya adalah penglihatan mata kepala manusia.
Segala sesuatu yang tidak terlihat langsung oleh mata pada suatu ketika atau tempat, maka pada saat dan dari tempat itu ia disebut gaib, meskipun sesungguhnya ia dapat berkomunikasi dengan yang hadir melalui sarana komunikasi tertentu (misalnya, telepon).
Dalam hal ini, gaib menjadi antonim dari kata syahadah yang berarti kelihatan langsung dengan mata.