Kamis 25 Oct 2012 07:00 WIB

Reformasi Pajak Mulailah dari Attitude Petugas

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Satu Gambiir, Jakarta.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Satu Gambiir, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia, Romo Benny Susetyo mengungkapkan bahwa pajak merupakan potensi besar bagi pembangunan nasional.  Lebih dari 70 persen belanja Negara dalam APBN berasal dari pajak. Oleh karena itu, pengelolaan pajak harus dilakukan dengan baik dan profesional.

 

Hal inilah yang terus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) melalui reformasi birokrasi perpajakan. Langkah ini dimulai dengan dilaksanakannya modernisasi sistem dan struktur organisasi yang berorientasi pada fungsi, yaitu dengan diresmikannya Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar (Large Tax Office-LTO), pada 9 September 2002.

 

Tak hanya itu, Ditjen Pajak juga melakukan upaya reformasi birokrasi terhadap 32 ribu pegawai yang tersebar di 571 kantor pajak seluruh Indonesia. Dengan adanya, reformasi birokrasi ini maka diharapkan pelayanan pajak kepada masyarakat akan semakin mudah. Hal ini juga turut dirasakan oleh Romo Benny. “Pelayanan pajak saat ini sudah cukup baik,” katanya.

 

Namun, upaya reformasi birokrasi ini tidaklah cukup dengan pelayanan, atau modernisasi sistem dan struktur organisasi. Dia menilai reformasi birokrasi perpajakan masih belum efektif dan perlu perbaikan. “Reformasi birokrasi perpajakan harus diperbaiki dan dimulai dari pembenahan attitude dari petugas pajaknya sendiri,” kata dia. Tujuan pembenahan tersebut adalah untuk membangun kredibilitas intitusi DJP di kalangan masyarakat. “Jika attitude itu sudah dibangun maka masyarakat akan dengan sukarela membayar pajak,” lanjut dia.

 

Ditjen Pajak tidak menutup mata bahwa reformasi birokrasi yang tengah dijalankan masih belum sempurna. Hal ini karena reformasi birokrasi perpajakan membutuhkan proses yang panjang dan terus menerus.

 

Semangat reformasi birokrasi perpajakan juga sejalan dengan  gerakan anti-korupsi yang dilakukan oleh Ditjen Pajak. Lembaga ini juga terus melakukan upaya pencegahan korupsi, salah satunya melalui whistleblowing system.

 

Dengan whistleblowing system, pelaku atau calon pelaku akan merasa terancam dengan kehadiran orang lain yang mengetahui atau ingin mengetahui kekayaannya. Ancaman hukuman yang berat juga diharapkan dapat memaksa calon pelaku untuk mengurungkan niat melakukan pelanggaran.

 

Whistleblowing system juga mempunyai sisi positif karena diterapkan asas deteksi dini yang mewajibkan setiap pegawai di lingkungan Ditjen Pajak untuk melaporkan pelanggaran atau indikasi pelanggaran yang diketahuinya. Kewajiban ini disertai dijaminnya kerahasiaan pelapor (whistleblower), perlindungan dan penghargaan terhadap pelapor.

 

Terlepas dari sisi positif tersebut, tokoh agama Katolik ini mengingatkan peran serta masyarakat dalam pengawasan pengelolaan pajak harus terus ditingkatkan. “Tak hanya pengawasan di internal, lembaga pajak harus meningkatkan peran masyarakat sehingga jika ada yang korupsi bisa dicegah,” kata Ketua Presidium Inter Religious Council (IRC) Indonesia.

 

Benny juga menyarankan agar Ditjen Pajak terus melakukan pembenahan dan pembersihan mafia pajak. Caranya dengan mekanisme pengawasan dari puncuk pimpinan hingga ke bawahan. “Pemerangan terhadap korupsi di Pajak harus diperbaiki karena masih belum menyentuh ke hal yang lebih tinggi,” lanjut dia.

 

Ke depannya, pastor ini menyarankan kepada Ditjen Pajak untuk tetap melanjutkan upaya remenureasi (pemberian imbalan kerja berupa gaji) kepada pegawai pajak. Hal ini untuk meminimalisir potensi penyimpangan. “Jika gaji sudah tinggi tapi masih korupsi maka ini harus dikenakan sanksi dan hukuman yang berat,” katanya. (adv)

sumber : Ditjen Pajak
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement