REPUBLIKA.CO.ID, Selanjutnya, lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Berkat undang-undang ini, kewenangan untuk menyelesaikan masalah warisan yang sempat dicabut di beberapa daerah pada 1937 dikembalikan kepada peradilan agama.
Pengadilan agama pun dapat memiliki juru sita sehingga pengadilan agama dapat melaksanakan putusannya sendiri.
Undang-undang ini memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat, serta memantapkan dan menyejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Tak Hanya di Aceh
Selain di Aceh, peradilan agama juga diadakan di daerah lainnya di Indonesia. Misalnya, pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram yang berlangsung pada 1613-1645. Di Mataram dikenal pengadilan pradata yang kemudian menjadi pengadilan surambi. Pengadilan ini dilaksanakan di serambi masjid.
Sedangkan pada masa Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung pada 1645, pengadilan pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi ulama dalam pengadilan. Raja sendiri yang menjadi tampuk pimpinannya.
Selain di Mataram dan Aceh, kerajaan Islam lainnya yang terdapat di Palembang, Banten, dan Demak juga melaksanakan hukum Islam.
Hukum tersebut dilakukan oleh lembaga peradilan yang kemudian merupakan alat kelengkapan kerajaan. Peradilan tersebut memperoleh bentuk-bentuk positif, seperti peradilan serambi, pendopo, dan majelis syarak. Peradilan Islam dengan kewenangannya yang luas bertahan hingga pada masa-masa awal penjajahan Belanda.
Pemerintah kolonial awalnya mengakui kedudukan hukum Islam yang telah ada di masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam. Namun akhirnya, pemerintah penjajah ini berubah pikiran lalu berusaha mengerdilkan wewenang peradilan agama di Indonesia.