REPUBLIKA.CO.ID, Syarif pun mulai mempelajari hakikat musibah dalam agama Islam.
“Ternyata saya malah menemukan solusi yang tepat di dalam Islam,” katanya.
Dalam Islam, Syarif mengetahui bahwa musibah yang ditanggung oleh seorang manusia adalah hasil “tangannya” sendiri. Bahwa ujian yang diterima seseorang adalah ujian atau sebuah hukuman.
Islam juga mengajarkan cara menghadapi masalah tersebut dengan ikhlas dan sabar. Bahwa segala cobaan akan ada jalan keluarnya.
“Itu yang menurut saya sangat logis, tidak dikaitkan dengan kehidupan masa lalu, reinkarnasi, atau dosa warisan. Sejak itu, saya sadar bahwa Islam adalah susunan hidup yang benar,” katanya.
Meskipun demikian, Syarif butuh waktu untuk yakin benar berpindah agama. Hingga pada suatu malam dirinya bermimpi. Dalam mimpi tersebut, Syarif dikejar-kejar oleh lima orang bersenjata. Mereka hendak membunuhnya. Ia pun terpojok di suatu sudut.
Para penjahat itu makin mendekat ke arah Syarif dan tanpa ia sadari tangannya terasa menggenggam senjata sejenis keris. Lalu, dengan satu dorongan, entah mendapat kekuatan dari mana, ia berteriak, ‘Allahu Akbar’ sebanyak tiga kali. “Sungguh menakjubkan, kelima penjahat bersenjata itu semuanya musnah dan hangus bagaikan lembaran-lembaran kertas terbakar,” tutur Syarif.
Mimpi tersebut semakin membulatkan tekadnya untuk menganut Islam. Tepatnya pada 1975, Syarif mengucapkan dua kalimat syahadat di depan kelompok pengajian yang dipimpin oleh Guru Erwin Saman.
Dia pun mengganti namanya dari Tan Lip Siang menjadi Syarif Siangan Tanudjaya. Setelah menganut Islam, masalah yang membelitnya memang tidak langsung pudar. “Namun, menjalani ujian tersebut secara Islam membuat beban saya terasa berkurang. Saya merasa lebih tenang,” ungkapnya.