Bimbing Para Mualaf
Kini, disamping meneruskan profesinya sebagai notaris, Syarif menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DKI Jakarta.
Di lembaga ini, ia berusaha membimbing para mualaf yang mayoritas beretnis Cina untuk memahami Islam dengan lebih baik.
Dia pun selalu mengajarkan kepada para mualaf bahwa menjadi mualaf bukanlah keputusan main-main. Karena itu, PITI tidak melayani mereka yang ingin menganut Islam hanya karena ingin menikah.
“Banyak yang seperti ini. Mereka berdalih akan mempelajari Islam setelah menikah. Namun, tetap tidak akan kami layani dan meminta mereka mencari tempat lain untuk dibacakan syahadatnya,” kata Syarif.
Menurutnya, dengan mengenal Islam lebih baik sebelum membaca syahadat, maka para mualaf akan bisa menjaga keislamannya dan mampu bertingkah laku selayaknya Muslim. Selain itu, agar mereka bisa menghadapi sejumlah tantangan yang mungkin dihadapi setelah memeluk Islam.
Kebanyakan mualaf, lanjutnya, akan bermasalah dengan keluarga mereka. Apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga Tionghoa, keputusan pindah agama akan menjadi sangat rumit. Masih banyak keluarga Tionghoa yang pemikirannya masih terpengaruh sistem sosial kuno, meskipun zaman sudah berubah.
“Mereka akan merasa malu bila ada salah satu keluarganya pindah ke Islam. Karena, Islam dianggap sebagai agama pribumi. Sehingga bila memeluknya, maka jatuhlah martabatnya,” ujar ayah dari dua putra; Ustaz Andrew Fateh dan Ustaz Kelvin Ikhwan ini.
Pemikiran tersebut bertambah buruk dengan kurang baiknya citra Islam belakangan ini. “Aksi pengeboman dan radikalisme lainnya, membuat mereka menganggap Islam adalah agama yang buruk,” katanya.
Pandangan ini, lanjut Syarif, harus diubah. Mereka harus sadar bahwa Islam akan menjadi rahmat di tengah keluarga mereka. Dengan menganut Islam, akhlaknya akan baik dan sopan santunnya terjaga.