REPUBLIKA.CO.ID, Kelompok yang kedua berpandangan, hukum mengembalikan selaput dara diperbolehkan selain kriteria yang diharamkan di atas.
Pendapat ini disuarakan oleh Prof Muhammad Na’im Yasindan Divisi Kajian Syariat Dar al-Ifta Mesir.
Kelompok kedua ini mengutip pendapat para ulama Mazhab Hanafi. Bila selaput dara seorang perempuan terkoyak karena perbuatan zina khafiy (perbuatan zina yang tidak sampai kepada penguasa sehingga pelakunya tidak dihukum had) atau perempuan itu tidak berprofesi sebagai penjaja seks sehingga dia telah terbiasa melakukannya, maka dia dihukumi sebagai perawan meskipun pada hakikatnya bukan perawan.
Kubu yang ketiga, operasi diperbolehkan bila penyebab rusaknya selaput dara itu karena faktor di luar batas kemampuannya. Misalnya, akibat kecelakaan, jatuh, tabrakan, membawa beban terlalu berat, atau karena terlalu banyak bergerak.
Begitu juga jika ia masih kecil dan diperkosa seseorang ketika dalam keadaan tidur atau karena ditipu. Opsi ini, dipilih oleh Prof Taufiq al-Wa’i dan Komisi Fikih Islam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Ada dua pendapat lagi yang diutarakan oleh Prof Muhammad Na’im Yasin dalam bukunya berjudul “Ritq Ghisya’ al-Bakarah fi Mizan al-Maqashid as-Syar’iyyah”. Opsi yang pertama, yaitu operasi tersebut hukumnya sangat dianjurkan, jika faktor penyebabnya bukan karena maksiat dan di luar kehendak perempuan yang bersangkutan.
Misalnya, bila ketiadaan selaput dara bisa berdampak negatif dan mendatangkan kezaliman baginya. Bahkan, hukumnya bisa meningkat menjadi wajib, bila kemungkinan besar kerusakan selaput dara membahayakan keselamatan jiwanya.