REPUBLIKA.CO.ID, TOULOUSE -- Komunitas Yahudi menilai Muslim Prancis menjaga jarak. Anggapan itu muncul ketika organisasi Yahudi Prancis atau Conseil Représentatif des Institutions juives de France (CIRF) menggelar acara peringatan tragedi penembakan di Toulouse beberapa waktu lalu yang menewaskan tiga tentara, seorang rabbi, dan tiga siswa Yahudi.
Hadir dalam acara itu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Prancis François Hollande. Akan tetapi, pimpinan komunitas Muslim tidak hadir meski sebenarnya mereka telah diundang.
Pimpinan (CIRF), Nicole Yardeni mengatakan pihaknya telah berulang kali mengundang komunitas Muslim untuk bertemu dalam acara peringatan tragedi penembakan yang dilakukan Mohammad Merah tersebut, namun tidak ada satupun pimpinan komunitas Muslim yang hadir. "Komunikasi antara kami seolah tidak ada," kata dia seperti dikutip france24.com, Jumat (2/12).
Menurut Yardeni, acara itu bertujuan untuk mendorong adanya upaya meningkatkan komunikasi antar kedua belah pihak. "Pada tingkat individu, Muslim Prancis menunjukan dukungan luar biasa. Namun, pada tingkat imam tidak ada seorang pun yang menunjukannya," katanya.
Sementara itu, Dewan Daerah untuk Agama Islam (CRCM) dan Dewan Nasional Islam Prancis (CFCM) membantah tuduhan CIRF. Kedua organisasi Islam terbesar di Prancis tersebut memastikan tidak ada upaya umat Islam untuk menghindari komunitas Yahudi. "Kita semua adalah korban dari radikalisasi," kata Wakil Presiden CRCM, Andellatif Mellouki.
Abellatif mengakui komunitas Muslim lebih banyak memfokuskan diri dalam usaha menjalin komunikasi dengan warga Prancis. Sampai sekarang, komunikasi itu belum terjalin dengan baik dan terbatas.
"Kami ingin memperkuat hubungan dengan komunitas agama lainnya. Tragedi lalu, menyentuh komunitas kami juga. Kita semua, Muslim, Yahudi, Kristen dan ateis, korban radikalisme," paparnya.
Hassen Chalghoumi, Imam Islamic Center Drancy di pinggiran Paris menyerukan komunikasi yang lebih erat antara Muslim Prancis dan komunitas Yahudi. Itu penting dilakukan lantaran sebagian Muslim dan Yahudi berasal dari berbagai negara sehingga membawa intepretasi yang berbeda satu sama lain.
"Itu yang membuat kami juga mengalami sedikit koherensi diantara imam masjid sehingga mengalami kesulitan mewujudkan kepemimpinan terpadu. Solusi dari masalah itu jelas, kita harus berani menghadapi ekstremis radikal," katanya.