REPUBLIKA.CO.ID, GLASGOW -- Pada 2014 mendatang, Skotlandia menggelar referendum kemerdekaan dari Kerajaan Inggris (Britania Raya). Namun, langkah itu justru memecah-belah Muslim Skotlandia.
Sebagian Muslim menilai Skotlandia sebaiknya menentukan nasib sendiri. Sedangkan sebagian yang lain realistis dan berharap Skotlandia tidak memisahkan diri karena kondisi perekonomian Eropa tengah sulit.
Wakil Pemimpin Buruh Skotlandia, Anas Sarwar, merupakan pihak yang paling menentang opini memisahkan diri dari Inggris.
"Saya tidak memasuki dunia politik untuk memperjuangkan pengaturan konstitusional. Tetapi untuk menjaga negara saya," komentar dia, seperti dikutip Aljazirah, Senin (12/11). Menurutnya saat ini lebih baik bagi Skotlandia untuk bekerjasama dengan Inggris.
Sementara itu, pejabat Kementerian Dalam Negeri, Humza Yousaf, mengatakan alasan di balik persetujuannya terhadap referendum pemisahan tersebut dikarenakan keterlibatan Inggris dalam perang Afghanistan dan Irak. "Saya sangat mendukung gagasan referendum," katanya.
Menurut Yousaf, model nasionalisme Skotlandia merupakan contoh bagi dunia dan Eropa. "saya pikir, sejarah telah menjadikan kami memiliki sikap egaliter," kata dia.
Secara garis besar, Muslim Skotlandia lebih membela rencana kemerdekaan Skotlandia dikarenakan persoalan nasionalisme.
Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris, David Cameron, bersama Pemimpin nasionalis Skotlandia akhir sepakat menggelar referendum kemerdekaan Skotlandia pada 2014. Kesepakatan itu tertuang dalam perjanjian yang ditandatangi kedua belah pihak di St Andrews House, Edinburgh.
Melalui perjanjian itu, masyarakat Skotlandia memutuskan untuk memutuskan nasib sendiri apakah mereka menjadi negara merdeka atau tetap bersatu dengan Inggris Raya.