REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Muhammad Fakhruddin (wartawan Republika)
Persoalan batas negara tidak hanya terkait dengan urusan di tingkat negara tapi juga mempengaruhi hubungan sosial kemasyarakatan warga di perbatasan. Hal ini terkait dengan urusan perut warga di perbatasan. Sehingga konflik di perbatasan diselesaikan mengacu pada kesepakatan antar warga dan pemerintah daerah kedua negara tanpa sepengetahuan Pemerintah Pusat.
Sengketa lahan antara RI-Malaysia yang terjadi di Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat diselesaikan dengan tukar guling lahan melalui perjanjian antara Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husein dengan Residen Sriaman, Patrik Ing Kasan pada 27 Sebtember 2002 di Johar Baharu, Malaysia.
Perjanjian yang berkaitan dengan permasalahan kegiatan pertanian lintas batas di kawasan Batu Lintang, Serawak, Malaysia dan Puring Kencana, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat untuk menegaskan kembali garis batas menurut perjanjian antara penduduk tahun 1938 dan 1971. Garis batas berupa garis lurus imajiner dari patok perbatasan I.51 melintasi patok I.83 hingga berakhir di patok I.117.
Garis imajiner ini membelah garis batas yang diukur bersama antara Pemerintah RI dan Pemerintah Malaysia pada tahun 1978 berdasarkan prinsip watershed. Mengacu pada prinsip watershed itu pembagian wilayah RI-Malaysia tergantung limpasan air hujan. Limpasan air hujan yang jatuh ke utara merupakan wilayah Malaysia, sedangkan limpasan yang ke selatan merupakan wilayah Indonesia. Namun dengan medan yang berbukit dan berkelok membuat garis batas antara RI-Malaysia menjadi berkelok-kelok membentuk letter S.
Sesuai dengan irisan garis lurus tersebut, kemudian dilakukanlah tukar guling antara wilayah Indonesia dengan wilayah Malaysia. Wilayah Malaysia seluas kurang lebih 230 hektar dari patok 1.51 sampai patok I.83 menjadi wilayah Indonesia. Sedangkan wilayah Indonesia seluas kurang lebih 230 hektar dari patok I.83 sampai patok I.117 menjadi wilayah Malaysia. Lahan yang diserahkan ke Indonesia ini telah digarap menjadi perkebunan. Sedangkan lahan yang diserahkan ke Malaysia masih hutan.
Rakyat Malaysia telah lebih dahulu berladang di daerah sengketa sebelum Indonesia merdeka. Daerah sengketa saat itu masih dipimpin oleh seorang demang. Rakyat Malaysia membayar kepada demang dan temenggung untuk bisa berladang ke wilayah jajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka kemudian dilakukan pengukuran dan pemasangan patok batas pada jaman orde baru. Pembagian wilayah RI-Malaysia inilah yang memicu perselisihan dan sengketa tanah antar masyarakat. Karena warga Malaysia baru sadar kalau sistem perladangan berpindah mereka telah memasuki wilayah Indonesia. Demikian juga dengan peladang Indonesia.
Sehingga warga Puring Kencana tetap menganggap lahan yang masuk wilayah Malaysia meskipun telah melintasi patok perbatasan. Karena lahan yang mereka garap merupakan lahan yang telah diwarisi secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Sehingga mereka berhak menggarap tanah tersebut. Namun karena warga Malaysia yang tinggal di Titikah, Sarawak, Malaysia memiliki nenek moyang yang sama dengan warga Puring Kencana, mereka juga merasa berhak dengan tanah garapan yang mereka garap, kendati itu masuk wilayah Indonesia. Warga negara bertetangga ini masih satu suku, yakni Suku Dayak Iban. (Bersambung)