REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada hari pertama pelaksanaan kampanye Pemilukada DKI putaran dua, Jumat (14/9), bentuk kampanye hitam kembali serang warga Jakarta.
Di masjid kantor Departemen Agama (Depag), Pejaten, Jakarta Selatan, ditemukan puluhan selebaran. Yang berisi puji-pujian terhadap calon gubernur nomor urut satu, Fauzi Bowo.
Tetapi di lembaran yang sama, dituliskan cacian terhadap calon wakil gubernur nomor urut tiga, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Pengamat politik dari Universitas Gajah Mada, Ari Dwipayana, menilai penerbitan selebaran itu merupakan aksi kontradiktif. Sebab, baru Kamis (13/9) diadakan deklarasi damai oleh kedua pasangan calon.
"Aksi-aksi seperti itu mencerminkan kepanikan dari salah satu cagub atau timnya. Yang bisa meningkatkan kejenuhan dan kemuakan masyarakat," jelasnya saat dihubungi Republika.
Kedua pasangan calon, menurutnya harus menyadari. Bahwa kampanye hitam, apalagi bernada SARA tidak akan menghasilkan apa-apa. Melainkan kemuakan dari masyarakat.
Karena, pemilih di Jakarta cukup cerdas dalam menentukan calon pemimpin mereka. Selain itu, tim manapun yang menggunakan model-model kampanye SARA, kata Ari, secara tidak langsung merendahkan kualitas mereka.
"Harusnya fokus pada program, visi dan misi. Dan disampaikan sesuai dengan segmen masyarakat Jakarta yang beragam," ujar Ari.