REPUBLIKA.CO.ID, “Aburizal Bakrie For President.” Kalimat berbahasa asing ini pernah mejeng di spanduk raksasa di Jalan Asia Afrika, Bandung, beberapa waktu lalu. Spanduk yang berukuran sekitar 4X3 meter ini menampilkan sosok Aburizal Bakrie dengan “seragam” calon presiden Golkar di pemilu 2014.
Tidak hanya di bumi Parahyangan, foto raksasa pria yang akrab dipanggil Ical ini kerap nangkring di layar kaca. Seiring banyaknya iklan yang menampilkan citra dirinya sebagai pemimpin, Ical pun rajin bersafari ke sejumlah propinsi. Mulai Sumatera hingga Papua sudah disambangi pria kelahiran Jakarta, 15 November 1946 tersebut.
Namun citra Ical sebagai pemimpin dinilai baru berlaku di atas spanduk iklan. Dalam berbagai survei yang dilakukan sejumlah lembaga, nama Ical masih tersisih dari daftar utama calon presiden Republik Indonesia.
Terakhir, nama Ical bahkan tidak masuk dalam daftar 18 capres yang “lulus” survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) versi para pencipta opini (opinion leader). Meski sejumlah survei menunjukkan kepopuleran Ical tidak sekokoh pohon beringin, kader Partai Golkar masih bergeming pada keputusan untuk mengusung sang Ketua Umum sebagai capres.
Kenyataan popularitas kader Golkar lain, Jusuf Kalla, yang lebih unggul dibanding dalam survei LSI, tidak menjadi pertimbangan partai. “ Apa pun yang terjadi, kami tetap dalam keputusan rakernas,"ujar Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Thohari pada Republika, beberapa waktu lalu.
Pengurus teras Golkar pun satu suara untuk mengantisipasi pembelotan kader Partai Beringin di daerah dalam dukung-mendukung capres. “Hadiah” khusus akan jadi ganjaran bagi siapa pun kader yang memilih mendukung Jusuf Kalla, ketimbang Ical. "Kalau tidak mengikuti keputusan partai (mendukung Ical) tentu akan kita berikan sanksi. Itu sesuai dengan ADRT partai," tegas Wakil Sekjen Golkar, Nurul Arifin.
Namun pengamat politik Fachry Ali punya pandangan sendiri; “Problem yang terbesar bagi Aburizal (Ical) adalah kurang cepatnya mentransformasikan diri dari posisinya sebagai saudagar,” ujar pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah ini.
Bagi Fachry, sosok Ical yang dicitrakan sebagai calon presiden belum tersampaikan kepada masyarakat. Masyarakat pun lebih mengenal Ical dengan jas dan dasi seorang pengusaha, ketimbang baju kuning, calon Presiden Partai Golkar. “Ical harus cepat mentranformasikan diri sebagai seorang pemimpin politik,” jelas Fachry.
Bebeda dengan Ical, sosok Jusuf Kalla justru mampu dikenang masyarakat seorang pemimpin. “Sebaliknya, memori masyarakat mengenang Jusuf Kalla sebagai seorang pemimpin, bukan saudagar,” kata Fachry menjelaskan.
Persepsi Kalla sebagai pemimpin tidak terlepas keberhasilannya saat tampil sebagai Wakil Presiden RI. “Kalla dinilai memiliki sikap sebagai seorang pemimpin yang decisive yang mampu menentukan keputusan secara cepat,” tambah dia.
Hal yang berbanding terbalik dengan Ical. Sekali pun pernah tampil sebagai anggota kabinet pada 2004 sebagai Meko Perekonomian, sosok kepemimpinan Ical belum terekam masyarakat. “Aburizal lebih dikenal sebagai businessman, bukan spemimpin politik,” tutup Fachry.