REPUBLIKA.CO.ID, Intelektualitasnya dibangun dengan fondasi yang kokoh. Ia menggabungkan dua kutub keilmuan sekaligus; umum dan agama.
Pendidikan formal ditempuh Zainab di sekolah negeri. Soal agama, ia mendapat pengarahan langsung dari para pakar.
Ia berguru kepada ulama-ulama Azhar, seperti Ketua Dewan Konsultasi dan Nasihat al-Azhar Syekh Muhammad Sulaiman an-Najjar, Syekh Abdul Majid al-Lubnan yang menjabat wakil Syekh al-Azhar, dan sejumlah tokoh terkemuka institusi keagamaan tertua di Mesir itu.
Ketegangan
Keharmonisan antara Zainab dan institusi al-Azhar sempat memburuk. Ini terjadi setelah tokoh yang telah berhaji 39 kali dan berumrah 100 kali tersebut bergabung dengan organisasi El-Ittihad El Nesai.
Di organisasi yang dipimpin oleh Huda Sya'rawi tersebut, ia terkenal unggul. Ia sempat masuk nominasi perempuan peraih beasiswa belajar di Prancis. Tetapi, kandas setelah Zainab bermimpi sang ayah melarangnya.
Antusiasmenya terhadap misi-misi organisasi yang menyuarakan feminisme nyaris melalaikannya. Ia tak lagi memakai jilbab, tetapi cukup dengan qob'ah (sejenis topi khusus perempuan).
Berulang kali terjadi perang pemikiran dan wacana antara Zainab dan al-Azhar. Ini mendorong Syekh Muhammad an-Najjar, yang tak lain ialah gurunya, tergerak menasihati. Tetapi, usaha tersebut gagal. Zainab tetap saja bersikeras pada pendiriannya.
Hingga peristiwa tersebut terjadi. Saat Zainab memasak, tabung gas yang ia pakai meledak. Ledakan itu hampir membakar seluruh bagian tubuhnya. Ia kritis.
Di keheningan petaka, ia berdoa kepada Allah SWT. Jika musibah ini adalah bentuk murka-Nya akibat Zainab mengenakan qob'ah maka ia akan melepas dan kembali berjilbab. Ia berjanji keluar dari organisasi tersebut.
Dan, jika diberi kesempatan, ia bertekad mendirikan organisasi Muslimah yang fokus pada amal dakwah dan sosial.