REPUBLIKA.CO.ID, Hukum menjenguk orang sakit adalah mandub (sunnah), tetapi kadang-kadang bisa menjadi wajib bagi orang tertentu.
Ath-Thabari menekankan bahwa menjenguk orang sakit itu merupakan kewajiban bagi orang yang diharapkan berkahnya, disunahkan bagi orang yang memelihara kondisinya, dan mubah bagi orang selain mereka.
Imam Nawawi mengutip kesepakatan (ijmak) ulama tentang tidak wajibnya, yakni tidak wajib 'ain.
Menurut zahir hadis, pendapat yang kuat menurut pandangan saya ialah fardhu kifayah, artinya jangan sampai tidak ada seorang pun yang menjenguk si sakit. Dengan demikian, wajib bagi masyarakat Islam ada yang mewakili mereka untuk menanyakan keadaan si sakit dan menjenguknya, serta mendoakannya agar sembuh dan sehat.
Sebagian ahli kebajikan dari kalangan kaum muslim zaman dulu mengkhususkan sebagian wakaf untuk keperluan ini, demi memelihara sisi kemanusiaan.
Adapun masyarakat secara umum, maka hukumnya sunah muakkadah, dan kadang-kadang bisa meningkat menjadi wajib bagi orang tertentu yang mempunyai hubungan khusus dan kuat dengan si sakit.
Misalnya, kerabat, semenda, tetangga yang berdampingan rumahnya, orang yang telah lama menjalin persahabatan, sebagai hak guru dan kawan akrab, dan lain-lainnya, yang sekiranya dapat menimbulkan kesan yang macam-macam bagi si sakit seandainya mereka tidak menjenguknya, atau si sakit merasa kehilangan terhadap yang bersangkutan (bila tidak menjenguknya).
Barangkali orang-orang macam inilah yang dimaksud dengan perkataan haq (hak) dalam hadis "Hak orang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima," karena tidaklah tergambarkan bahwa seluruh kaum Muslim harus menjenguk setiap orang yang sakit. Maka yang dituntut ialah orang yang memiliki hubungan khusus dengan si sakit yang menghendaki ditunaikannya hak ini.
Disebutkan dalam Kitab Nailul-Authar, yang dimaksud dengan sabda beliau (Rasulullah SAW) 'hak orang Muslim' ialah tidak layak ditinggalkan, dan melaksanakannya ada kalanya hukumnya wajib atau sunah muakkadah yang menyerupai wajib.
Sedangkan menggunakan perkataan tersebut –yakni hak—dengan kedua arti di atas termasuk bab menggunakan lafal musytarik dalam kedua maknanya, karena lafal al-haq itu dapat dipergunakan dengan arti 'wajib', dan dapat juga dipergunakan dengan arti 'tetap,' 'lazim,' 'benar,' dan sebagainya.