REPUBLIKA.CO.ID, Sang pembunuh pun berangkat menuju rumah rahib ahli ilmu.
Ketika bertemu rahib, sang pembunuh pun mengakui dengan jujur perbuatannya. “Saya telah membunuh 100 jiwa,” kata si pembunuh.
Sang ulama Yahudi itu juga terkejut bukan main. Namun, mengetahui niat baik sang pembunuh untuk bertobat, dia tak serta-merta memvonisnya.
“Jika ada orang telah membunuh 100 jiwa, apakah masih ada pintu tobat untuknya?” tanya pria pembunuh penuh harap.
Dengan bijak, rahib itu tersenyum sambil menepuk pundak sang pembunuh, seraya berkata, “Tentu saja, siapakah yang mampu menghalangimu dari tobat?”
Senyum sang pembunuh yang berwajah kasar itu pun mengembang. Hampir-hampir ia menitikkan air mata karena terharu mendapat kesempatan bertobat, namun sekaligus merasa sangat berdosa telah membunuh seratus jiwa.
Si pembunuh merasa mendapat angin segar dan tak sabar segera melakukan tobatnya. Ahli ilmu itu pun menuntunnya, memberikan arahan baginya menuju pintu tobat.
Sang ahli ilmu menasihati si pembunuh agar meninggalkan negerinya yang dinilai banyak memberi pengaruh buruk. Ia diminta melakukan hijrah dan hidup di negeri yang banyak ditinggali orang-orang salih, beribadah, serta menjalankan kebajikan bersama mereka sepanjang sisa hidupnya.
“Pergilah ke daerah di seberang, di sana terdapat orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah. Sembahlah Allah bersama mereka dan janganlah kembali ke negerimu yang dulu karena negeri tersebut adalah negeri yang buruk,” nasihat sang ahli ilmu.
Pembunuh itu pun segera menjalankan nasihat sang alim. Ia bergegas melakukan hijrah menuju negeri baru. Perjalanan panjang harus ditempuh pria itu. Namun, tak masalah bagi hamba yang telah bertekad untuk tobatan nasuha.
Tetapi, rupanya takdir Allah menulis lain, sang pembunuh itu meninggal di tengah perjalanan hijrahnya. Mungkin, hijrah itu satu-satunya kebaikan yang pernah dia lakukan setelah bertobat.