REPUBLIKA.CO.ID, Kematian pembunuh itu rupanya menimbulkan polemik di langit.
Setelah malaikat Izrail mencabut nyawa sang pembunuh, giliran malaikat pembawa ruh dilanda perselisihan.
Malaikat rahmat dan malaikat azab, mereka masing-masing merasa berkewajiban membawa ruh itu ke alam baka. “Dia telah bertobat, meninggal dalam keadaan tobat dan menyerahkan sepenuh jiwa hatinya kepada Allah,” kata malaikat rahmat berargumentasi.
Namun, malaikat azab punya pendapat lain. “Dia bertobat, tapi belum sedikit pun melakukan amalan kebajikan,” ujarnya. Cukup lama dua malaikat beradu pendapat hingga Allah mengutus satu malaikat untuk menengahi mereka.
“Ukurlah jarak orang ini dengan dua negeri, negeri buruk asalnya dan negeri baik tujuannya. Mana jarak terdekat dengan negeri itu. Maka, tentukan apakah ia termasuk yang dirahmati atau diazab,” tutur malaikat penengah tersebut.
Malaikat rahmat dan malaikat azab pun menjalankan usulan malaikat penengah tersebut. Mereka mengukur jarak dua negeri dengan lokasi kematian sang pembunuh.
Diceritakan bahwa pria pembunuh itu meninggal tepat di tengah-tengah jarak antara kedua negeri, namun jasadnya dalam posisi membusungkan dadanya ke arah negeri tujuan. Namun, kedua malaikat menganggap, pria itu lebih mendekati negeri baik.
Alhasil, malaikat rahmatlah yang membawa ruhnya menuju surga. Seratus jiwa bukan angka kecil, tetapi tobat sang pembunuh diterima. Meski, margin tobat yang minim sekalipun.
Entah siapa nama pria pembunuh itu, entah negeri mana yang ia tinggalkan dan tujukan, tak pernah dikabarkan secara rinci. Namun, kisah ini pernah dikabarkan oleh Rasulullah melalui hadisnya.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan, hadis kisah pembunuh seratus jiwa tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih mereka. Hadis tersebut juga terdapat dalam kitab “Riyadhush Shalihin” karya Imam An-Nawawi dalam bab “At-Taubah”, hadis nomor 20.