REPUBLIKA.CO.ID, Belia yang tengah tumbuh dan sangat sensitif sering terkejut dengan hantu yang misterius.
Demikian Cendekiawan Muslim Sayyid Quthb menyebut saudari bungsunya, Hamidah Quthb.
Memori itu diabadikan di sebuah buku bercorak sastrawi dan terbit pada 1945. Judulnya, Empat Spektrum (al-Athyaf al-Arba'ah), sebuah buku catatan hasil karya empat saudara, Sayyid, Muhammad, Aminah, dan Hamidah.
Keempat bersaudara terkenal kekompakannya. Mereka bersama-sama mengkaji ilmu dan berdakwah. Bahkan, tak gentar menghadapi ujian.
Hamidah terkenal sebagai sosok daiyah (sebutan untuk dai perempuan—Red) yang gigih memperjuangkan kebenaran. Tokoh kelahiran Kairo, 1937 ini, memulai karier dakwahnya sejak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin (IM).
Ketertarikannya terhadap kelompok yang dibentuk oleh Syahid Hasan al-Banna itu berawal ketika sang kakak, Sayyid Quthb, bergabung dengan jamaah tersebut pascakembali dari Amerika Serikat.
Hamidah getol mensyiarkan Islam, memberdayakan masyarakat, dan melawan kezaliman. Bersama sejumlah daiyah, ia mengemban misi mulia itu. Salah satunya ialah Zainab al-Ghazali.
Pada 1954, rezim Gamal Abd El-Nasir menangkap sebagian besar anggota IM. Sang kakak, Sayyid Quthb, turut diciduk oleh penguasa zalim tersebut. Mereka divonis dengan sanksi yang beragam. Ada yang dihukum seumur hidup. Tak sedikit yang dijatuhi hukuman mati.
Hamidah tidak tinggal diam. Semangatnya tak luntur. Ia terpanggil untuk berbuat sesuatu. Bersama beberapa tokoh, seperti Aminah Ali, Naimah Khathab, Zainab al-Ghazali, dan Khalidah al-Hudhaibi, Hamidah mendampingi dan mengurus keluarga para anggota IM yang ditahan.