Kamis 24 Jan 2013 19:46 WIB

Defisit Hutan, Kawasan Hulu Harus Dibenahi

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Heri Ruslan
Sungai Ciliwung
Foto: setkab.go.id
Sungai Ciliwung

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Penanganan banjir harus dilakukan dari hulu ke hilir. Daerah hulu yang awalnya berfungsi untuk menyerap air, kini sudah gundul dihantam pemukiman dan tempat wisata.

Tidak ada lagi lahan di hulu yang tersisa untuk menyerap kelebihan air hujan. Jakarta butuh tempat penampungan sekitar 1,3 milyar meter kubik air hujan jika tidak mau kebanjiran setiap tahun.

Diperlukan evaluasi tata ruang agar masalah banjir tidak berlarut-larut. Di daerah hulu seperti Puncak dan Bogor, kawasan yang tertutup hutan kurang dari lima persen. Area ini hanya mampu menampung setengah dari jumlah air yang ada.

Dalam setahun, air hujan yang turun mencapai tiga miliar liter. "Kita sudah defisit (hutan). Tentu tata ruang harus dibenahi," ujar Mentri Kehutanan, Zulkilfi Hasan di Jakarta, Kamis (24/01).

Pengelolaan kawasan hulu diakui Menhut masih kurang baik. Namun kondisi ini terjadi akibat kontribusi masyarakat Jakarta juga. Banyak warga Jakarta yang berlomba-lomba membangun tempat peristirahatan seperti villa  dan daerah wisata.

Masyarakat hulu tidak diberikan alternatif pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Imbasnya, mereka lebih suka menjual lahannya dibandingkan berkebun dan melakukan penghijauan. Lahan pun semakin habis lagi dengan adanya erosi.

Selain itu, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Jakarta sebagian besar bukan kawasan hutan, melainkan kawasan kepemilikan. Padahal DAS sangat dibutuhkan salah satunya untuk tutupan lahan vegetasi berupa hutan, kebun, pertanian dan semak belukar.

DAS berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengeluarkan air ke danau atau laut secara alami. Pemilik lahan yang sudah mempunyai izin tidak bisa diusir begitu saja, termasuk dalam hal ini pemilik villa. Jakarta dikelilingi enam DAS, yaitu DAS Angke-Pasanggrahan, DAS Krukut, DAS Ciliwung, DAS Sunter, DAS Buaran dan DAS Cakung.

"Kemenhut tidak bisa mengatur kewenangan orang lain," ujar Eko Widodo Sugiri, Direktur Perencanaan dan Evaluasi DAS Kementrian Kehutanan kepada Republika.

Kewenangan pengelolaan kawasan ada pada pemerintah daerah. Jika memang berpotensi timbul masalah termasuk banjir, seharusnya izin kepemilikan  bisa ditolak. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Pembangunan di daerah DAS harus memperhitungkan kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah.

Peraturan ini semestinya menjadi rujukan tata ruang disetiap wilayah kabupaten dan kota. "Kalau peraturan ini ditaati, seharusnya tidak ada masalah. Kenyataannya, tata ruang yang ada tidak ditaati," kata Eko Widodo.

Harus ada upaya agar kelebihan 1,3 milyar meter kubik air yang selama ini menjadi penyebab banjir bisa teratasi. Bagaimanapun, air harus bisa disimpan untuk mengisi ruang-ruang kosong di bawah tanah. Solusi dari Kemenhut berupa penggiatan penanaman vegetasi dan pembuatan penampungan penyerapan air.

Biaya untuk kebutuhan ini diperkirakan mencapai Rp. 1,5 triliun. Dana ini sebanyak 40 persen digunakan untuk konservasi tanah dan air. Sisanya digunakan untuk pembangunan fisik seperti pembangunan Waduk Ciawi, pembuatan waduk dan pembuatan sodetan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement