REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Badan Narkotika Nasional (BNN) telah mengeluarkan regulasi larangan menanam dan menjual tanaman Khat karena terbukti mengandung "cathinone", zat narkotika golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Terkait hal ini, sejumlah warga Cisarua yang menanam tumbuhan "Khat" (chata edulis) di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menyatakan bersedia memusnahkan tanaman tersebut dengan harapan ada ganti rugi dari pemerintah.
"Kami bersedia jika pemerintah ingin memusnahkan tumbuhan ini, kami pun tidak akan menanamnya lagi. Tetapi diharapkan ada ganti rugi dari pemerintah agar bisa bercocok tanam jenis tanaman lain," kata Nanang (53), salah satu petani tanaman Khat di Desa Tugu Utara, Rabu.
Nanang mengatakan, jika tidak ada ganti rugi, masyarakat yang telah menanam tumbuhan yang termasuk golongan narkotika tersebut akan kehilangan mata pencahariannya. Karena selama ini masyarakat menggantungkan hidupnya dari menjual tanaman itu.
"Bibit tanaman Khat ini kami beli dengan uang sendiri, kalau dimusnahkan begitu saja, para petani jadi rugi. Kami juga kehilangan mata pencaharian," ujarnya.
Masyarakat awalnya mengenal tanaman tersebut sebagai tanaman yang banyak dicari turis Timur Tengah yang sering berwisata ke Puncak. Tanaman itu dikonsumsi untuk lalapan mencegah kolestrol usai makan daging kambing, dan sebagai obat diabetes atau diare.
"Tanaman tersebut dibeli para turis seharga Rp 100.000 per ikat, bahkan ada yang berani membeli Rp 500.000 untuk satu kantong plastik kresek," katanya.
Ia mengatakan, selain untuk lalapan juga untuk meningkatkan vitalitas pria. Menurut Nanang, tanaman tersebut dibawa oleh turis dari Yaman, mulai ada sejak tahun 2005. Melihat banyak yang mencari, sejumlah wargapun mulai ramai menanamnya.