Selasa 12 Feb 2013 11:51 WIB

Rakyat Sulit Mengakses Pendanaan Iklim

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Pemanasan global (ilustrasi)
Foto: www.ctv.ca
Pemanasan global (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menunjukkan akses rakyat untuk pendanaan iklim sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada. Padahal isu pengurangan emisi dengan pemberian insentif finansial seperti, REDD+ maupun bantuan hibah dan pinjaman berkaitan dengan masyarakat adat dan penduduk sekitar hutan.

"Kami melihat hanya aktor-aktor besar dan pemerintah yang dapat menggunakan sumber dana ini," ujar Direktur Eksekutif Walhi, Abetnego Tarigan, Selasa (12/2).

Wilayah Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak pemanasan global. Saat ini pemerintah fokus pada program mitigasi untuk mengadaptasi perubahan iklim.

Sumber pendanaan iklim Indonesia terbesar berasal dari utang luar negeri, baik dalam bentuk utang program maupun utang proyek. Utang program mencatat angka 2,5 miliar dolar AS, sedangkan utang proyek sebesar 400 juta dolar AS. Pinjaman ini berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asian, Jepang dan Prancis.

Penggunaan pinjaman ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan iklim, kajian ekologis, serta pemenuhan hak asasi manusia. Pendanaan iklim juga tidak boleh semakin menambah beban rakyat.

Dalam pertemuan Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-17 tahun 2011, pendanaan iklim tahap global masih belum mencapai target. Selain itu dana adaptasi yang dibutuhkan ternyata tidak menunjukkan hasil yang signifikan pada COP 18 di Qatar.

Pembukaan sektor swasta dalam Green Climate Fund (GCF) tahun 2011 pun dikhawatirkan membuat akses komunitas semakin terbatas. Pasalnya diperlukan berbagai persyarat teknis dalam beberapa level verifikasi baik di sub nasional, nasional, regional maupun internasional.

"Skemanya banyak sekali dan sulit dipahami rakyat. Sektor privat akan lebih mendominasi untuk mendapatkan dana tersebut," papar Abetnego.

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan penggunaan dana GCF masih dalam proses penataan operasional. Kemenhut fokus pada 17 sasaran program diantaranya kegiatan produksi, reformasi birokrasi dan pendanaan kualitas publik.

Dana program digunakan untuk pembangunan hutan desa, kebun bibit rakyat dan sertifikasi hutan rakyat. "Petani hutan rakyat dapat mengakses dana dengan mudah," kata Staff Ahli Kemenhut Bidang Ekonomi dan Pendanaan Internasional, Hadi Susanto Pasaribu.

Mekanisme pendanaan dilakukan secara multi sektor, termasuk Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negri. Pemerintah dikatakan Hadi sepakat untuk memanfaatkan dana REDD+ untuk pengembangan komunitas sehingga bisa langsung dimanfaatkan masyarakat. Salah satu program andalan dalam penggunaan dana ini yaitu peningkatan penumbuhan hutan rakyat di luar Pulau Jawa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement