REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), angka kematian ibu saat melahirkan di Indonesia masih sangat tinggi. Dalam setiap jam, terdapat dua kasus kematian ibu saat melahirkan di seluruh Indonesia.
Jumlah itu, jika diakumulasikan selama setahun mencapai angka 17.520 ibu meninggal karena melahirkan. Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKKBN, Sudibyo Alimoeso, jumlah itu sama dengan jumlah 5 pesawat super jumbo yang mengangkut ibu hamil lalu jatuh, semua penumpang meninggal.
Sudibyo menambahkan, penyebab masih tingginya angka kematian ibu melahirkan salah satunya adalah pernikahan usia dini. Pasalnya, di usia yang belum matang, risiko kematian dalam persalinan sangat besar. Untuk itu, perempuan yang akan menikah harusnya sudah dalam usia matang perkawinan.
Usia pernikahan dalam Undang-Undang Perkawinan dinilai sudah tidak relevan lagi. Dalam UU Perkawinan, usia perempuan yang sudah dibolehkan untuk menikah adalah 16 tahun. Di sisi lain, usia pernikahan dalam UU Perlindungan Anak adalah 20 tahun.
"Usia perempuan yang belum matang memiliki risiko besar ibu meninggal dalam persalinan," kata Sudibyo di saat diskusi di Kantor PBNU Jakarta, kemarin.
BKKBN bersama PBNU akan menginisiasi untuk dilakukan revisi UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Revisi UU Perkawinan untuk usia minimal perempuan boleh menikah ini untuk menekan tingginya kematian ibu saat melahirkan.
Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siraj, mengusulkan, batasan minimal usia perempuan boleh menikah adalah 18 tahun. Umur tersebut didapat dari titik tengah antara batasan usia minimal pernikahan menurut UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak.
"Tapi ini gagasan saya pribadi, nanti akan kami bahas di internal dan kami susun sebagai masukan revisi UU Perkawinan," ungkap Kiai Said di Jakarta, Rabu (13/2).
Menurut Kiai Said, perempuan idealnya boleh dikawin pasa usia 16 tahun. "Kalau ternyata perkembangannya itu dianggap beresiko bagi perempuan, ya harus direvisi," tegas Kiai Said.