Ahad 24 Feb 2013 18:07 WIB

MUI: Kami Tak Berhak Awasi Produk Tak Bersertifikat

Rep: Agus Raharjo/ Red: Nidia Zuraya
Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menegaskan tidak berhak dan tidak memiliki wewenang mengawasi produk yang tidak bersertifikan halal. Sebab, tanggunjawab pengawasan sudah dipegang oleh pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Menurut Wakil Direktur LPPOM MUI, Osmena Gunawa, pihaknya hanya memiliki kewenangan dan tanggungjawab atas sertifikasi halal yang telah dikeluarkan MUI. Artinya, LPPOM hanya berkewajiban untuk mengawasi produk yang telah bersertifikat. Sebab, dalam proses pengajuan sertifikasi halal, sudah ada perjanjian antara pemilik produk dengan MUI untuk menjaga produknya.

"Kita tidak berhak dan tidak berwenang melakukan itu (pengawasan produk tanpa sertifikat)," kata Osmena pada ROL, Ahad (24/2).

Osmena menambahkan, aturan pengawasan makanan di lapangan menjadi tanggungjawab pemerintah."Tapi dilaksanakan atau tidak tergantung pemerintah," ujarnya.

Namun, aturan pengawasan itu sudah tercakup di pemerintah. "Jadi bukan di kita pengawasan itu," tegas Osmena.

Menurut Osmena, memang MUI harusnya juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan makanan di lapangan. Agar kasus daging haram tidak bermunculan dan meresahkan umat.

Sampai sekarang, ungkap dia, pengendalian distribusi daging juga tidak menentu. Pemerintah belum memiliki sistem distribusi dan penjualan daging yang aman bagi umat Islam. Salah satu contohnya tidak ada pemisahan dalam penyembelihan dan penjualan hewan yang halal dan haram bagi masyarakat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement