REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Monopoli bisa mengakibatkan ketidakstabilan harga dan mengancam terpenuhinya hajat hidup orang banyak. Secara prinsip para ulama sepakat monopoli haram.
Acapkali, untuk meraup keuntungan pribadi, sejumlah oknum pelaku bisnis sengaja menahan obyek bisnis mereka agar mengalami kenaikan harga. Ini merupakan bentuk monopoli yang mengancam kestabilan pasar. Bahkan, bisa mengakibatkan gonjang-ganjing ekonomi suatu negara.
Di tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami publik saat ini. Beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi, memonopoli produksi, perdanganan, bahkan bahan baku kebutuhan pokok.
Tak hanya itu, negara itu memonopoli penjualan komoditas industri yang dibutuhkan negara tadi. Kondisi ini, bisa mengacaukan distribusi kesejahteraaan dan pendapatan di level dunia.
Menurut Pembantu Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir, Prof Ahmad Arafah, dalam makalahnya yang berjudul al-Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, monopoli dalam Islam dikenal dengan istilah ihtikar, yaitu penimbunan barang pokok dengan tujuan harga barang naik, terutama saat terjadi kelangkaan di pasar.
Menurut pakar fikih kontemporer Prof Fathi ad-Darini, dalam konteks pengertian monopoli tersebut, cakupannya tak terbatas pada bahan pokok. Termasuk pula bentuk monopoli ialah menahan apapun yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, agar terjadi lonjakan nilai ataupun harga.
Ini, katanya, bisa meliputi jasa, atau pelayanan tertentu, serta obat-obatan, hingga soal pertanahan. “Prinsipnya ialah segala yang diperlukan publik dan negara wajib didistribusikan,”katanya menegaskan. Ia tidak membedakan antara barang atau produksi lokal dan komoditas impor.
Prof Arafah mengungkapkan pendapat para ulama terkait hukum monopoli dan penimbunan harga ataupun jasa tersebut. Menurut kelompok yang pertama, monopoli dengan definisi di atas tidak diperbolehkan. Haram hukumnya. Ini merupakan pendapat dari Mazhab Maliki, Syafi’i. Hanbali, dan Zhahiri.
Riwayat Muslim dari Ma’mar bin Abudullah al-Adawi, merupakan salah satu dalil yang dijadikan dasar argumentasi kubu ini. Hadist itu menegaskan, barangsiapa yang melakukan monopoli dalam bisnis, maka ia dinyatakan berdosa.
Sedangkan hadis dari Ma’qil bin Yasar menyebut, mereka yang mempermainkan harga, kelak akan masuk neraka, dan tulang yang terbuat dari api adalah tempat duduknya. Sahabat Umar bin Khaththab, pernah menegaskan, tak ada kamus monopoli di wilayah perekonomian yang ia pimpin.
Rentetan dalil tersebut menguatkan larangan monopoli dan penahanan barang atau produk dari peredaran. Tindakan seperti itu, sesuai dengan dalil-dalil di atas, dapat berakibat pada krisis.
Menurut kubu yang kedua, hukum monopoli hanya ada pada level makruh. Tidak sampai di derajat haram. Opsi ini banyak dipakai mayoritas ulama dari Mazhab Hanafi dan sebagian ulama Mazhab Syafi’i.
Mereka berdalih, serangkaian hadis yang dikutip kubu pertama tidak kuat dijadikan landangan pelarangan. Dari segi sanad dan matannya, tidak cukup tegas.
Menyikapi perbedaan ini, Prof Arafah menuturkan, makruh secara mutlak menurut Mazhab Hanafi, bisa juga mengarah pada makruh tahrim. Kategori makruh ini, menurut Mazhab yang berafiliasi pada Imam Hanafi itu, memiliki konsekuensi yang sama dengan haram. Pelakunya, juga berhak atas dosa.
Atas dasar inilah, lanjut Prof Arafah, negara memiliki otoritas untuk memberlakukan kebijakan antimonopoli dan menjatuhkan sanksi bagi pelakunya.
Aksi monopoli, bisa dikategorikan sebagai tindakan krimininal yang merugikan orang banyak. Bahkan, menurut Imam an-Nawawi, negara berhak memaksa oknum tersebut untuk menghentikan aksi monopolinya.
n