REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sekitar 30 persen masyarakat Sleman masih membiasakan diri buang air besar (BAB) sembarang. Meskipun ketersedian jamban sudah mulai memadai, namun kesadaran warga dianggap masih kurang.
Kepala Puskesmas Sleman, Trisni Nurandayani mengatakan, sebagian besar masyarakat masih memanfaatkan area persawahan. perkebunan, sungai serta kolam-kolam ikan untuk BAB. Karena itulah, tingkat penderita diare di Sleman tergolong signifikan yakni 1,01 persen.
"Bahkan yang menjadi tantangan kami saat ini adalah sulitnya memberikan imbauan dan penyuluhan agar budaya itu tidak terus berkelanjutan," kata Trisni menjawab Republika usai memberikan sambutan pada acara Deklarasi Stop BAB Sembarangan, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Desa Caturharjo, Sleman, Jumat (8/3).
Dia menambahkan, upaya yang sekarang tengah dilakukan yakni, memicu kesadaran masyarakat dengan menyinggung perasaan risih dan malu. Bukan hanya itu, kerja sama anatarpihak dari pemerintah desa, kecamatan, pelaku usaha, akademisi dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman dalam memberikan fasilitas jamban keluarga dan umum akan terus berlangsung.
Kepala Dinkes Sleman, Mafilindati Nuraini menambahkan, tahun ini pihaknya menganggarkan dana sebesar Rp 45 juta untuk alokasi pembangunan jamban keluarga. Adapun targetnya sebanyak 75 paket di 10 desa yang pembangunannya dianggap masih tertinggal.
"Kemudian untuk jamban umum, kami serahkan pada CRS perusahaan dan industri di daerah tersebut," ujarnya.
Linda mengakui, kesadaran masyarakat masih dapat dikatakan minim. Menurutnya, tidak sedikit warga telah memiliki jamban di rumahnya, namun masih menjadikan BAB sembarangan sebagai rutinitasnya. Karena itu, pembinaan ini bukan hanya terfokus pada pembangunan jamban melainkan juga peningkatan kesadaran.