REPUBLIKA.CO.ID,Sabah, atau Kalimantan Utara, adalah bagian Kesultanan Brunei pada awal abad ke-16. Pada 1658, Kesultanan Brunei menyerahkan Sabah dan Pulau Palawan ke Kesultanan Sulu—kerajaan Melayu paling berpengaruh pada saat itu—sebagai kompensasi atas bantuan menyelesaikan perang saudara yang nyaris menghancurkan Brunei.
Tahun 1761, Alexander Dalrymple—utusan dari British East India Company—membuat perjanjian dengan Kesultanan Sulu dan membuka pos perdagangan di Sabah. Di Luzon, Spanyol, ia terus memperluas ekspedisi militer dan gospel-nya dengan menaklukkan pulau-pulau kecil dan wilayah pantai Pulau Mindanao dan mengancam kedaulatan Kesultanan Sulu.
Sultan Jamalul Alam, penguasa Kesultanan Sulu saat itu, sadar tentaranya tidak mungkin menghadapi pasukan Spanyol yang bersenjatakan senapan. Ia mendekati Inggris dan meminta bantuan. Inggris mengontak Baron Gustavus von Overbeck dan Alfred Dent—konsul Kekaisaran Austro Hongaria di Hong Kong dan perwakilan British North Borneo Company.
Keduanya bersedia membantu, tapi dengan syarat, yakni Kesultanan Sulu melepas. Pada 23 Januari 1878, Sultan Jamalul Alam meneken perjanjian sewa-menyewa Sabah dengan Von Overbeck dan Dent. Menariknya, surat perjanjian (lihat gambar surat perjanjian dalam dua bahasa) tidak menyebut batas waktu sewa.
Sebagai imbalannya, Von Overbeck mengirim senjata yang dibutuhkan tentara Kesultanan Sulu dan Dent mengeluarkan 5.000 dolar Meksiko—saat itu dibayarkan dalam bentuk emas—setiap tahun kepada para bangsawan Melayu di Sabah. Dalam perjanjian terdapat kalimat hak sewa Sabah tidak dapat ditransfer ke suatu negara atau perusahaan tanpa sepengetahuan Sultan Sulu.
Berkat persenjataan dari Von Overbeck, Kesultanan Sulu relatif mampu menahan serangan Spanyol di Mindanao. Pada 1898, Spanyol direpotkan oleh revolusi di Kuba. Pejuang Kuba melancarkan perang melawan Spanyol untuk memerdekakan negaranya. Amerika Serikat (AS) melibatkan diri dalam perang ini dengan membantu rakyat Kuba.
Spanyol merespons campur tangan AS di Kuba, lalu mendeklarasikan perang dengan Paman Sam. AS menjawab dengan melancarkan deklarasi itu dengan melancarkan serangan ke koloni-koloni Spanyol di Pasifik dan memblokade Kuba.
Spanyol mengerahkan seluruh sumber daya militernya untuk menghadapi AS di semua front pertempuran dan melupakan niatnya menaklukkan Kesultanan Sulu. Di sisi lain, Kesultanan Sulu berupaya memanfaatkan situasi ini untuk memperoleh kembali wilayah yang jatuh ke tangan Spanyol, tapi tidak ingin terlibat konflik dengan AS.
Perang Spanyol-AS tidak berlangsung lama. Spanyol tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi AS di banyak front pertempuran hingga akhirnya kalah. Keduanya berunding, dan hasilnya adalah Perjanjian Paris 1898.
Spanyol menyerahkan Puerto Rico dan pulau-pulau lainnya di Hindia Barat, Guam, serta Marianas kepada AS. Spanyol juga menyerahkan Kepulauan Filipina dan AS membayar 20 juta dolar AS dalam waktu tiga bulan.
Tidak ada yang aneh dalam pasal-pasal Perjanjian Paris. Namun, dalam keterangan Pasal III disebutkan, yang dimaksud Spanyol dengan Kepulauan Filipina adalah wilayah yang mencakup wilayah Kesultanan Sulu— ilayah yang tidak pernah ditaklukkannya.
Spanyol melakukan tindakan ilegal dan Kesultanan Sulu menuntut pembatalan Perjanjian Paris 1898 demi hukum. Namun, komentator hukum internasional mengatakan penyerahan Sulu oleh Spanyol ke AS dalam Perjanjian Paris 1898 adalah sah.
AS ragu-ragu menerima pendapat ini. Sembilan bulan setelah Perjanjian Paris, AS memaksa Kesultanan Sulu berunding dan menandatangani Perjanjian Bates. Dalam perjanjian itu AS menyebutkan, “Tidak diragukan lagi bahwa wilayah Kesultanan Sulu bukan properti Spanyol dan memasukkannya ke dalam Perjanjian Paris 1898 adalah tidak sah.
Berdasarkan Perjanjian Bates, Kesultan Sulu memiliki hak berdaulat atas wilayahnya yang meliputi Zamboanga, Tawi Tawi, Palawan, Basilan, Sulu, dan Sabah. AS juga berjanji tidak akan menjual Pulau Jolo dan pulau-pulu kecil di sekitarnya ke pihak asing tanpa persetujuan Sultan Sulu.
Namun, Presiden Theodore Roosevelt membatalkan perjanjian itu dan menggantinya dengan Memorandum Carpenter pada 1915. Ruma Bichara, parlemen Kesultanan Sulu, menolak pembatalan sepihak ini, tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
Ketika tahun 1946 AS memberikan kemerdekaan kepada Filipina, rakyat Kesultanan Sulu tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit; menjadi bagian negara baru peninggalan Spanyol. AS melakukan semua itu tanpa pernah bertanya kepada rakyat Sulu apakah mereka bersedia menjadi bagian Filipina.