REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengkritik pernyataan pakar hukum Adrianus Meliala bahwa sulitnya pihak kepolisian dalam penegakan hukum karena terkait HAM. Ketua Komnas HAM Otto Syamsuddin Ishak menilai pernyataan itu mencerminkan sikap yang tidak mendukung penghormatan terhadap HAM.
Padahal, kata dia, polisi sebagai penegak hukum harus mengacu pada resolusi Majelis Umum 34/169 Pasal 2 yang mengatur tentang penghormatan terhadap HAM. Sayangnya, pernyataan itu justru mengkontradiksikan antara kepolisian dan HAM karena dianggap sebagai pengganjal pelaksanaan tugas kepolisian.
Termasuk dalam penangkapan teroris oleh Densus 88, sambungnya, sebaiknya aparat tidak seenaknya memperlakukan tersangka hingga melakukan pelanggaran berat. "Keberadaan HAM hanya mengingatkan pihak penegak hukum untuk menghormati dan melindungi martabat manusia," kata Otto, Selasa (12/3).
Dia mengaku, dalam perjalanannya sebagai komisioner Komnas HAM, sebetulnya ada indikasi positif di internal kepolisian. Pasalnya, kalangan Polri menilai bahwa HAM bukanlah hantu yang menghambat dalam menjalankan tugas pokoknya.
Terkait restrukturisasi Polri, saran dia, yang penting adalah bagaimana aparat kepolisian sebagai penegak hukum punya komitmen yang tinggi terhadap martabat manusia. Karena itu, Otto tidak setuju kalau ada aparat organik kepolisian melakukan berbagai kekerasan dalam menjalankan tugasnya.
"Polisi wajib terlibat dalam penghormatan terhadap HAM sebagai amanat konstitusi dalam menjalankan tugasnya," imbaunya.
Otto melanjutkan sewaktu Polri masih menjadi bagian dari ABRI, mereka potensil terlibat pelanggaran HAM. Ketika ABRI bubar menjadi TNI-Polri, juga banyak dilaporkan masyarakat terkait adanya pelanggaran yang terus dilakukan aparat keamanan itu. Karena itu, saran dia, ahli kepolisian harus memikirkan gagasan yang secara struktural dan kultural tidak memposisikan polisi menjadi potensial melanggar HAM.