REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Wendi Zarman
Suatu ketika, Napoleon bertanya kepada Laplace (m 1827), seorang matematikawan besar Prancis tentang siapakah Pengarang alam semesta yang ajaib ini. Laplace menjawab, “Saya tidak membutuhkan hipotesis itu.” (Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, Bandung : Mizan, 2009).
Bagi Laplace, ada atau tidak ada Tuhan bukanlah hal penting bagi sains sebab dengan mengetahui hukum alam, semua pertanyaan dapat terjawab.
Jawaban Laplace ini dapat dikatakan mewakili pandangan ilmuwan Barat terhadap sains dan agama. Semenjak Copernicus melempar gagasan tentang Heliosentrisme pada abad ke-16, sains modern secara perlahan bergerak menjauhi agama. Sejak itu, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dianggap sebagai gagasan absurd dan sia-sia. Segala keberadaan dan dinamika yang terjadi di alam bersumber dari hukum-hukum alam semata.
Inilah yang dikatakan Hawking dalam The Grand Design (2010), “Their creation does not require the intervention of some supernatural being or god. Rather, these multiple universes arise naturally from physical law.” (Penciptaan tersebut tidak memerlukan intervensi kekuatan supranatural atau Tuhan, alam semesta ini muncul secara alami dari hukum-hukum fisika).
Sebagaimana diketahui, pengajaran sains di Indonesia pada umumnya berkiblat kepada negara-negara Barat, terutama Amerika dan Eropa. Itu terjadi karena ne gara-negara tersebut dipandang sebagai ne gara maju dalam sains dan teknologi. Indikasi sederhananya dapat dilihat dari kurikulum sains yang digunakan di sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Struktur materi dan isinya praktis copy-paste dari Barat.
Pada ranah ilmu fisika, misalnya, buku-buku pelajaran sains dipenuhi oleh teori-teori dari ilmuwan Barat, seperti Copernicus, Gauss, Descartes, Newton, Planck, Snellius, Maxwell, Pascall, Celcius, Boyle, Kirchoff, de-Broglie, Einstein, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kondisi yang serupa juga terjadi pada pelajaran sains lainnya, seperti biologi, kimia, dan astronomi.
Di dunia Barat, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dipandang sebagai hal yang haram. Sebab, agama dipandang bukan sumber ilmu. Agama dianggap kumpulan dogma yang tidak ilmiah karena tidak bersifat empiris dan rasional. Agama bukan ilmu. Paradigma semacam ini turut mewarnai konsep pendidikan sains mereka.
Ironis jika cara pandang ateistik sema cam ini ikut mewarnai corak pendidikan sains di Indonesia. Agama dibuang jauh-jauh dari sains. Alquran dianggap bukan sumber ilmu. Padahal, Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyebutkan tujuan pendidikan nasional adalah mencetak warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME.