REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kerusuhan di Kota Palopo, Sulawesi Selatan menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Republik Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai, pelaksanaan pemilukada langsung banyak kekurangannya lantaran tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang belum merata. Karena itu, Kemendagri menyarankan agar pemilukada langsung dihapus dan diganti pemilihan lewat DPRD.
"Banyak ekses negatif dari pemilihan langsung bupati atau wali kota, lebih baik model pemilihan dikembalikan ke DPRD, selain juga untuk efisiensi anggaran triliunan rupiah," kata Staf Ahli Mendagri Reydonnyzar Moenek di kantor Badan Diklat Kemendagri, Senin (1/4).
Usulan pergantian pemilukada langsung, kata dia, bisa dimasukkan ke dalam RUU Pilkada yang tengah dibahas di DPR. Selain untuk menghindari gesekan konflik horizontal akibat terpecahnya masyarakat dalam dukungan kepala calon kepala daerah, juga lantaran pemerintah pusat ingin menguatkan kewenangan gubernur.
Dengan penguatan otoritas gubernur, sambungnya, diharapkan bupati atau wali kota cukup dipilih wakil rakyat karena kewenangannya nanti terbatas. Lagipula, menurut Reydonnyzar, masyarakat juga sudah jenuh dengan pemilukada langsung.
"Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih langsung biasanya masa pemerintahannya efektif hanya dua tahun. Setelahnya mengalami stagnasi," ujarnya.
Kondisi itu terjadi, kata dia, lantaran kepala daerah dan wakil kepala daerah diusung partai berbeda. Karena itu, ketika sama-sama duduk di kursi pemerintahan, keduanya tidak akur dan berebut pengaruh. Waktu mereka lebih tersita untuk membawa program partai daripada fokus menjalankan agenda rakyat.
"Karena alasan itu, kita mengusulkan evaluasi pemilukada langsung, karena hanya menciptakan pecah kongsi kepala daerah di akhir masa jabatannya," kata Reydonnyzar.