REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher meninggal dunia pada Senin (8/4) setelah menderita stroke. Selama menjadi perdana menteri, dia mampu menjadikan Inggris sebagai pusat keuangan dunia. Namun, kebijakan ekonominya juga memberinya konsekuensi yang mendesaknya untuk mundur.
Mengadopsi gaya politisi ibu rumah tangga yang tahu akan inflasi, Thatcher menentang kekuatan serikat buruh pada 1979. Partai Konservatif meluncurkan kampanye yang mengkritik pengangguran.
Pemerintahan Jim Callaghan saat itu kehilangan mosi percaya pada 28 Maret 1979. Tanpa basa-basi, Thatcher menyerang dan memenangkan pemilihan umum.
Sebagai perdana menteri, dia bertekad memperbaiki keuangan negara dengan mengurangi peran negara dan meningkatkan pasar bebas. Pemotongan tingkat inflasi menjadi fokus pemerintah. Dia juga memperkenalkan anggaran radikal pada pajak dan pemotongan belanja.
BBC menulis Thatcher memperkenalkan privatisasi. Jutaan orang yang sebelumnya memiliki sedikit saham atau tidak memiliki sama sekali di ekonomi bisa membeli rumah. Mereka juga bisa membeli saham pada perusahaan yang sebelumnya dimiliki negara.
Kebijakan moneter baru tersebut membuat London menjadi salah satu pusat keuangan di dunia. Gaya manufaktur lama yang dikritik hanya menciptakan industri usang, tidak dipelihara pemerintah. Hal itu membuat pengangguran naik menjadi tiga juta orang.
Kerusuhan di beberapa daerah pun pecah. Hal itu menekan Thatcher untuk memodifikasi kebijakannya. Namun, dia menolak untuk menyerah. "Kamu mundur jika menginginkannya...wanita tidak akan mundur, " ujarnya.