REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi kembali memanggil Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono untuk penyidikan perihal kasus dugaan penerimaan hadiah terkait dana bantuan sosial di Pemerintah Kota Bandung.
"Setyabudi hari ini dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Herry Nurhayat (HN)," ujar Kabag Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Jumat.
Pada pukul 10.25 WIB Setyabudi tiba di gedung KPK Jakarta dengan mengenakan pakaian tahanan.
Ketika ditanya mengenai kasus suap terkait bantuan sosial (bansos) dan gratifikasi dalam bentuk pelayanan PSK, Setyabudi tidak mau menjawab dan langsung memasuki gedung KPK.
Dalam kasus bansos, KPK telah menetapkan Setyabudi sebagai tersangka akibat menerima hadiah atau janji yang dinyatakan penyidik sebagai tindak pidana korupsi.
Selain Setyabudi, tiga orang lain yang dinyatakan sebagai tersangka untuk kasus ini adalah HN (Herry Nurhayat) yang menjabat sebagai Pelaksana tugas Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda) Kota Bandung, AT (Asep Triana) yaitu perantara pemberian suap dan TH (Toto Hutagalung) yang merupakan orang dekat Wali Kota Bandung Dada Rosada.
Setyabudi disangkakan pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999. Sedangkan HN, AT, dan TH sebagai pemberi suap disangkakan Pasal 6 ayat 1, atau Pasal 5 ayat 1 atau Pasal 11.
KPK menangkap hakim Setyabudi di kantornya di PN Bandung pada Jumat (22/3), sesaat setelah menerima uang senilai Rp 150 juta dari Asep yang kemudian disita KPK beserta satu unit mobil Toyota Avanza milik Asep yang memuat uang lain berjumlah Rp 350 juta.
Dalam penggeledahan di kantor hakim Setyabudi, ditemukan uang senilai ratusan juta rupiah dan ribuan uang dolar AS serta berita acara pemeriksaan yang memuat nama Dada Rosada.
Setyabudi menjadi hakim ketua dalam sidang tujuh terdakwa PNS Pemerintah Kota Bandung yang divonis satu tahun penjara dan denda senilai Rp50 juta subsider satu bulan penjara pada Desember 2012.
Setyabudi yang pernah menjadi Ketua pengadilan di Tanjung Pinang dan hakim di Semarang itu memutuskan para terdakwa wajib membayar uang pengganti sejumlah Rp9,4 miliar, dari total anggaran yang disalahgunakan mencapai Rp 66,5 miliar.