REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Para menteri luar negeri NATO, Selasa (23/4), mulai naik pitam dan mengecam ancaman perang Korea Utara. Mereka menyeru Pyongyang untuk menghentikan program senjata nuklirnya di saat Korea Utara bersikeras untuk diperlakukan sebagai negara pemilik senjata nuklir yang sama dengan musuh lamanya, Amerika Serikat (AD).
"Tindakan provokatif Korea Utara merupakan pelanggaran langsung terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB dan melemahkan stabilitas regional," kata para menteri dalam satu pernyataan saat mereka bertemu di markas besar NATO di Brussels, seperti dilansir dari AFP.
Mereka menyebutkan, hal itu juga merusak prospek perdamaian di Semenanjung Korea dan mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Para menlu yang berjumlah 28 kemudian menyeru Korea Utara untuk menghentikan semua senjata nuklir, program nuklir, dan program peluru kendali balistiknya. Mereka meminta Korut untuk mau membicarakan program denuklirisasi.
Retorika permusuhan Korea Utara beberapa bulan terakhir, termasuk ancaman perang nuklir melawan Amerika Serikat, telah memicu ketegangan di wilayah tersebut. Ancaman dan gertakan itu telah dilihat sebagai upaya untuk memaksa Washington, sekutu dekat Korea Selatan, untuk melakukan dialog terkait normalisasi hubungan.
Namun, Korea Utara pada Selasa pagi memperbarui permintaan itu dengan meminta diperlakukan sebagai negara pemilik senjata nuklir, dengan mengatakan itu adalah prasyarat untuk setiap dialog dengan AS. Sebuah komentar di surat kabar Rodong Sinmun menyebut, permintaan AS agar Korea Utara berkomitmen untuk meninggalkan senjata nuklir dan program peluru kendalinya sebelum berdialog, tidak dapat diterima.
Washington telah menyatakan dengan jelas bahwa pihaknya tidak akan pernah secara resmi menerima Korea Utara, yang melakukan uji coba ketiga nuklirnya pada Februari, sebagai negara pemilik senjata nuklir.