REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- DPD mesti berperan aktif dalam membahas RUU. Jangan hanya sekadar menjadi lembaga pemanis yang berada di bawah bayang-bayang DPR. "DPD tak boleh lagi berada di bawah dominasi DPR," kata Ketua Litigasi DPD, I Wayan Sudirta di Yogyakarta, Sabtu (27/4).
Selama ini kewenangan DPD di bidang legislasi terpasung oleh UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Wayan mengatakan keberadaan undang-undang itu telah mencederai mekanisme check and balance sistem bikameral.
Kini, pascaputusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, DPD kembali memiliki kekuasaan yang setara dengan DPR di bidang legislasi. "Setiap RUU yang diajukan DPD diperlakukan setara dengan RUU yang diajukan presiden," ujarnya.
Wayan mengatakan putusan MK berdampak pada peningkatan kualitas dan kuantitas produk legislasi DPR. Karena proses pembahasan undang-undang tidak lagi hanya dibahas DPR, tetapi juga melibatkan DPD. "Putusan MK menjawab keprihatinan produk legislasi yang kian menurun kualitasnya," kata Wayan.
Wayan menyatakan keraguan kalau pelibatan DPD di bidang legislasi bakal menciptakan inefisiensi, tak perlu dibesar-besarkan. Sebab bisa diatasi dengan desain yang kerja yang efektif. Wayan mencontohkan selama ini pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam RUU tidak berjalan integral antara pemerintah dan DPR.
Hal ini karena tiap fraksi di DPR mengemukakan pendapat sendiri-sendiri. "Pemerintah membahas DIM bukan berhadapan dengan DPR sebagai institusi tetapi dengan fraksi-fraksi di DPR," papar Wayan.
Pelibatan DPD di bidang legislasi diperkirakan bakal menutup ruang bagi fraksi di DPR menunjukan keegoisannya. Sebab pembahasan DIM akan dilakukan secara lebih substansial dengan membawa aspirasi lembaga yakni DPR, DPD, dan Presiden.
"Pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak pembahasan tingkat komisi, pansus, pengajuan DIM, pendapat mini, rapat paripurna, hingga tahap persetujuan," papar Wayan.